1000 Camelia [part 03]
Gadis itu cukup menarik.
Alan baru saja memasuki kamar
kostnya. Di kamar berukuran 4 x 5 meter itu, semua barang kesayangan Alan dari
Jakarta tertata rapi. Di sanalah ia akan bertahan hidup di Surabaya selama masa
kuliahnya. Atau lebih.
Kamar itu sangat mencirikan
kepribadian Alan yang sangat teratur dan rapi. Tidak ada satupun barang yang
berserakan. Semua tertata dengan sangat indah. Terdapat beberapa kata-kata
motivasi tertempel pada dinding. Kasur dan meja diletakkan berhadapan. Di
samping kasur, sebuah lemari. Hanya ada beberapa buku dalam ruang ini, dan
semuanya adalah karangan orang-orang sukses
Ia meletakkan tas dan kameranya di
atas meja. Di atas meja itu, juga terdapat sebuah lampu kecil, laptop, serta
jam. Alan mengambil laptopnya, menyalakan laptopnya, dan memasukkan kartu
memori kamera.
Rasa penatnya seketika hilang begitu
melihat hasil jepretannya. Puas. Berbagai
sisi kota Surabaya terekam dalam foto-foto. Tidak hanya panorama, foto seorang
gadis berambut sebahu juga tampaknya menjadi salah satu objek favorit untuk
dipotret. Dalam lima belas foto, gadis itu menjadi sasaran utama pengambilan
gambar, sedangkan latar belakangnya tampak blur.
Alan tersenyum sendiri. Gadis itu
cukup menarik, pikirnya. Seakan tersadar melakukan sebuah kesalahan, Alan
menyingkirkan pikiran tersebut. Aku datang ke Surabaya untuk mencari suasana
baru dan menempuh pendidikan, katanya pada dirinya sendiri.
Alan mematikan laptopnya, kemudian
meletakannya kembali di atas meja.
Hanya dalam hitungan detik, Alan
sudah terbawa dalam alam mimpi yang indah.
***
Tidak
ada yang lebih buruk dari hujan secara tiba-tiba di musim kemarau seperti ini.
Sangat tak terduga. Tentu saja tidak ada yang memersiapkan payung, ataupun jas
hujan. Begitu juga dengan Elena. Semoga saja hujan tidak berlangsung lama.
Sial.
Hujan tentu saja akan menghambat rencana Elena hari ini. Banyak hal yang harus
ia lakukan hari ini, seperti membelikan sahabatnya – Sofia – bunga sebagai
hadiah ulang tahun. Elena tahu betul bagaimana selera Sofia tentang bunga. Berhubung
Sofia adalah salah satu sahabat terbaiknya, apapun akan dilakukan Elena. Termasuk
membelikan bunga hidup sebagai hadiah ulang tahun yang kedelapan belas Sofia.
Sudah
saatnya Elena memberanikan diri untuk membawa kendaraan pribadi. Rasa takutnya
terlampau besar. Ia memilih untuk menggunakan berbagai kendaraan umum seperti
angkot atau becak. Dan inilah akibatnya: kehujanan.
Hujan
kian deras. Bersama beberapa orang lainnya, Elena berteduh di bawah halte bus
yang tidak terlalu besar. Elena buru-buru mengamankan peralatan elektroniknya.
Tiba-tiba, sebuah sikut menyenggol tangan Elena hingga ia hampir saja
menjatuhkan ponselnya sendiri. Beruntung, orang yang menyenggolnya berhasil
menangkap ponselnya. Kalau tidak, tewas sudah ponsel itu dalam kubangan air.
“Maaf,
saya tidak bermaksud.“ kata orang itu sambil mengembalikan ponsel Elena.
“Beruntung
sekali ponsel saya tidak jatuh. Banyak data penting.” Elena mengomel. Betapa
kagetnya begitu matanya bertemu dengan mata orang yang mengembalikan ponselnya.
“Alan?”
“Elena?
Aku tidak menyangka bertemu denganmu disini.” Alan tersenyum tipis. “Maafkan
aku, Elena. Aku tidak bermaksud–“
“Tidak
apa-apa, Alan. Terima kasih sudah menyelamatkan ponselku.” Elena tersenyum
menampilkan deretan gigi putihnya.
“Kita
selalu bertemu di tempat yang tak terduga.” Kata Alan. “Mau ke mana?”
“Jalan
Kayoon.” Elena menunjuk ke seberang jalan.
“Jalan
Kayoon?”
“Membeli
bunga untuk sahabatku yang berulang tahun. Dia suka bunga potong yang segar.
Berhubung dia sahabat terbaikku, jadi kuturuti saja.” Kata Elena. “Kamu
sendiri?”
“Hanya
berusaha mengenali kota ini lebih baik.” Alan mengencangkan jaketnya. “Sudah
banyak hal yang berubah selama sepuluh tahun terakhir.”
“Tentu
saja.” Gumam Elena.
“Apa
aku boleh ikut? Ikut membeli bunga maksudku.”
“Membeli
bunga?” Elena meragukan. “Tentu saja, silakan.”
“Jangan
ragukan kemampuanku untuk memilih bunga. Aku salah satu jagoannya.”
***
Komentar
Posting Komentar