1000 Camelia [part 14]
Beruntung sekali,
Elena langsung menyetujui ajakan Evan tanpa banyak bertanya lebih lanjut.
Biasanya, ia selalu kalah dalam memberikan alasan pada Elena. Mungkin, alam
semesta bersekutu untuk mendukungnya untuk acara spesial malam ini.
Evan tidak sanggup menunggu lebih
lama lagi. Semakin cepat langkah yang diambil, maka semakin bagus juga hasil
yang akan diperoleh. Tidak ada harapan lainnya selain rencana berjalan lancar malam
ini.
***
Kata-kata Sofia siang tadi masih
berdengung-dengung dalam pikiran Elena. Ia tidak memahami apa maksud dari ‘ada
yang bakalan berbunga-bunga malam ini’. Ia tidak merasa bahagia sampai
berlebihan. Yang ada, ia merasa canggung duduk berhadapan dengan Evan dalam
restoran ini. Bagaimana tidak canggung, di restoran yang bernuansa Eropa klasik
ini, hampir seluruh pengunjungnya datang berpasang-pasangan. Dan mereka berdua
berada di antara para pasangan itu.
“Van, kok tumben sih makannya di tempat kayak gini? Kan
terlalu berlebihan.” Elena membuka percakapan dengan volume suara yang kecil.
Tentu saja, ia tidak ingin sampai terdengar oleh tamu lainnya.
“Nggak apa-apa, Len. Memangnya aku nggak
boleh ajak kamu ke sini?”
“Ya tapi ‘kan bakal lebih asyik
kalau ada Joan dan Alan. Kan kita sahabatan semua.”
“Len,” nada suara Evan begitu dalam
dan berwibawa. “Aku mau ngomong sesuatu ke kamu malam ini. Aku ambil resiko
buat katakan ini, karena aku nggak pernah tahu bagaimana responmu nantinya.”
Elena hanya diam mematung tak tahu apa yang harus dikatakannya. Kemudian,
tiba-tiba Evan menangkup tangan Elena. “Len, sudah hampir setahun aku berusaha
mendekatimu. Mendekati untuk lebih dari sekadar sahabat. Aku nggak tahu
bagaimana rasa itu bisa datang dan tumbuh begitu saja. Tapi lama kelamaan aku
yakin kalau sebenarnya aku cinta sama kamu, Len. Aku ingin hubungan kita lebih
dari sahabat.”
Elena masih diam mematung. Ia
benar-benar kaget, dan tidak menyangka sebuah pengakuan yang baru didengarnya. Selama
ini ia hanya menganggap Evan sebagai sahabatnya, sebagai saudaranya. Tidak
lebih dari itu. Elena tidak ingin membohongi perasaannya, tapi ia juga tidak
mungkin menghancurkan hati seseorang yang tulus diberikan untuknya.
“Jadi, bunga-bunga itu dari kamu,
Van?” tanya Elena dengan curiga
“Bunga? Bunga apa, Len?”
“Bukan apa-apa kok.” Oke, bukan dia pasti. Elena berdeham. “Aku…
aku butuh waktu, Van. Aku harus berpikir terlebih dahulu.”
“Aku nggak akan maksa kamu buat
ngasih jawaban ke aku malam ini, Len. Tapi yang pasti, aku akan selalu menunggu
jawabanmu itu.”
***
Alan sudah mendengar kabar itu – Evan yang mengakui perasaannya
pada pada Elena. Tepatnya, Evan yang mengadakan konferensi dengan Alan dan Joan
untuk mengabarkan hal itu. Alan sama sekali tidak kaget, karena ia sudah tahu
hal itu akan segera terjadi, cepat atau lambat. Hanya tinggal menunggu waktu
yang tepat – menurut Evan tentunya.
Joan sangat kaget begitu mendengar
cerita Evan. Ia tidak mengira bahwa Evan menyimpan perasaan yang lain selama
ini. Bahkan, menurutnya Evan sudah berhasil menyembunyikan perasaannya dengan
rapi sampai-sampai ia tidak menyadarinya.
“Sudah dua minggu lewat, sudah ada
kabar?” tanya Alan.
“Belum, Lan.” Kata Evan agak lesu.
“Bahkan, aku merasa dia justru agak menghindariku, atau semacam menciptakan
jarak.”
“Sudah resiko, Van. Elena pasti
kaget dan nggak nyangka, sama seperti kita.” Joan menepuk pundak temannya. “Lagi
pula, hati cewek juga susah ditebak. Kadang cewek susah dimengerti. Kita
cowok-cowok harus sabar saja.”
“Aku takut ada orang lain yang
berhasil merebut hatinya.” Kata Evan.
“Siapa, Lan? Aku kok nggak tahu
apa-apa ya.” Sembur Joan.
“Aku juga nggak tahu, Jo. Tiba-tiba
aku ingat, Elena bertanya padaku apakah aku yang mengiriminya bunga selama
ini.”
***
Alan cukup kaget ketika tiba-tiba
Elena mengajaknya bertemu di Skatepark seminggu setelah pertemuan Alan, Evan,
dan Joan. Tepat tiga puluh tangkai bunga dan tiga puluh gulungan kecil surat ia
kirimkan pada Elena. Ia merasa cukup bersalah telah membuat Elena merasa agak
‘terteror’ dengan kirimannya itu. Tapi dengan cara itulah ia dapat
mengungkapkan perasaannya pada Elena secara diam-diam tanpa ketahuan.
“Apa kabar, Len?” Alan memulai
percakapan. Tidak seperti biasanya dimana Elena selalu mengawali percakapan.
“Baik, Lan. Kamu sendiri gimana?
Sudah lama banget kita nggak ketemuan kayak gini.”
“Iya, Len. Jadi kangen lho sama kamu.” Kata Alan diimbuhi
dengan tawa yang mulai mencairkan suasana. “Ada apa Len?”
“Nggak apa-apa, Lan. Aku takut lupa
sama wajahmu.” Elena tersenyum dengan lebar. “Tapi sebenarnya aku mau cerita
sesuatu sama kamu. Aku nggak tahu harus cerita pada siapa lagi. Ini tentang
Evan. kalau aku cerita ke Joan, aku takut Joan akan memberitahu Evan, soalnya
Joan ‘kan agak cerewet.” Kata Elena, membuat Alan tersenyum. “Dan entah kenapa
aku memilih untuk cerita ke kamu. Mungkin karena selama ini kamu tidak banyak
bicara, jadi seharusnya kamu bisa menyimpan rahasia ini.”
“Tentu saja, Len.”
“Jadi begini, Lan. Sudah selama
sebulan ini, aku menerima tiga puluh tangkai Bunga Camelia yang disertai
gulungan surat kecil. Sehari ada satu paket yang aku terima.” Alan merasa ada
anak panah yang dilepaskan tepat mengenai jantungnya. “Kemudian, tiga minggu
yang lalu,” Elena terdiam sejenak sambil memejamkan matanya. “Evan menyatakan perasaannya
padaku.”
“Evan?” Alan berpura-pura heran.
“Iya.” Elena mengangguk. “Aku tidak
memberikan jawaban pada Evan sampai saat ini.”
“Kenapa, Len? Apakah nggak terkesan
buruk?”
“Aku tahu itu terkesan buruk. Tapi,”
lagi-lagi Elena diam sejenak. “aku tidak yakin tentang perasaanku pada Evan.
Selama ini aku hanya menganggap Evan sebagai sahabat dan saudara. Nggak lebih
dari itu.”
Kini, gantian Evan yang terdiam.
Elena pun masih diam. Hampir sepuluh menit lamanya mereka tenggelam dalam
kesunyian di antara mereka berdua. Hanya ada suara kendaraan dan teriakan
kebahagiaan anak-anak di sekitar mereka yang membuat suasana tidak benar-benar
sunyi.
“Menurutmu, apa yang harus aku
lakukan?” tanya Elena pada akhirnya.
“Ikuti kata hatimu.”
***
Komentar
Posting Komentar