Postingan

Menampilkan postingan dari 2017

Hujan Bulan Desember

Aku tahu hujan, yang secara misterius membawa aroma menggoda. Aku suka hujan, yang menggelitik sanubariku dengan milyaran rasa. Aku cinta hujan, yang mempertemukan kau dan aku di bawah payung yang satu.        Ku tak lari lagi dari hujan.        Ku tak lari lagi menghindar,          kabur, ataupun menjauh.        Ku rasakan tetes air hujan,        mengaliri setiap inci kulitku,        membawa sensasi yang tak dapat dijelaskan. Payung malam itu, ‘kan jadi kenangan indah, bukti awal dari segala awal. Tak hanya mengurangi percikan air hujan yang dingin, tapi pula meneduhkan hati. Mungkin, masih tersisa bekas tanganku dan tanganmu, yang memegang gagang yang satu.           Angin semilir menggelitik,    menambah nikmatnya hujan malam itu.           Di tengah kegelapan malam           serta indahnya taburan bintang           Makin menyempurnakan hari itu.           “Selamat malam, tidur nyenyak,”           begitu bisikmu, sebelum k

The Vessel [2]

Back to  The Vessel [1]       Tak hanya tugas, berlanjut pada kegiatan organisasi. Aku tak pernah mengira tanggung jawab yang kudapatkan sedemikian besarnya. Saran dan kritik sudah menjadi makanan sehari-hari yang harus ditelan dengan nikmat. Kemampuan berkomunikasi dan memanajemen menjadi hal yang wajib kumiliki. Kemampuan mendekatkan diri dan menjalin relasi dengan rekan-rekan satu tim juga harus kuterapkan. Dengan kepribadian yang ceria dan cukup mudah mengalah, tak mudah bagiku untuk dapat menguasai puluhan mulut yang menyuarakan ide-ide cemerlang (karena aku sendiri juga banyak bicara). Belum lagi, ketika ada masalah menghadang dan sisi melankoli muncul. Rasanya ingin segera angkat kaki saja menuju dimensi waktu yang lain.       Menjadi asisten tutorial juga bukan pekerjaan yang mudah. Setahun lalu, ketika aku hanyalah seorang peserta, aku melihat asisten tutorial bukanlah pekerjaan yang susah. Cukup membaca materi yang ada pada buku dan menyampaikannya dengan santai pada

The Vessel [1]

Mengiring-Mu, seumur hidupku Masuk dalam rencana-Mu, Bapa Pikiranku, kehendakku, kuserahkan pada-Mu Harapanku hanya di dalam-Mu Kukan teguh bersama-Mu Tuhan Jadikanku, bejana-Mu untuk memuliakan-Mu        Lagu dengan tempo slow ini menohokku dengan keras semalam. Lagu yang membuatku menangis dan tenggelam dalam lirik serta iramanya, setelah sekian lama tak merasakan demikian. Entahlah, seolah Tuhan berbicara padaku semalam lewat lagu ini. Akan kuceritakan sedikit kisahnya.          Semua berawal ketika aku menginjak tahun kedua studi di perguruan tinggi ini. Dengan penuh kebanggaan, kuambil jumlah SKS yang lebih banyak dari sebelumnya. Kuterima tawaran jabatan yang prestisius di organisasi. Tak tanggung-tanggung, pada semester sebelumnya aku memutuskan untuk menjadi seorang asisten tutorial pula. Belum lagi, bagaimana relasiku dengan orang-orang di sekitarku. Bukanlah hal yang mudah untuk dilalui, demikian kata beberapa orang yang menanyai kesibukanku selama semester i

Behind Us.

“Kapan kau akan menulis lagi?” “Entahlah. Inspirasi dan ideku menguap begitu cepat.” “Cepatlah menulis. Aku rindu untuk membacanya.” “Iya, setelah aku menemukan ide.” “Kutunggu. Secepatnya.”                 Aku sedikit teringat percakapan singkat itu. Percakapan yang membuat diriku amat bahagia, ketika sadar tulisan seorang amatir ternyata dinanti-nantikan. Setidaknya, untuk seorang – seorang spesial. Apalagi, yang menantikannya tak begitu suka membaca. Pernahkah kau merasa cukup kaget ketika seorang yang bahkan tidak suka bergaul dengan tulisan-tulisan, tiba-tiba mengharapkanmu menulis kisah panjang untuknya? Bagiku, sebuah perasaan yang tak dapat diungkapkan dengan cara apapun. Amat sangat bahagia.                 Kalori untuk menulis baru saja ia salurkan padaku semalam. Sebuah malam yang baru saja berlalu begitu cepat, tanpa bisa dirasakan. Jarum jam tak dapat berhenti untuk berputar dan menunjuk dari satu angka ke angka lainnya. Malam itu, ia tampil dengan emosi yan

Bahagia

Bahagia, Sebuah kata yang berlalu-lalang Sebuah frasa yang acap berulang Seolah menjadi sebuah tujuan akhir yang gemilang. Bahagia, Seperti apakah itu? Apa gelak tawa riang tanpa setetes pun air mata? Apa hari indah dengan sinar matahari yang menghangatkan? Apa harta yang berkelimpahan? Bahagia, Entah, sebuah kata, empat suku kata Suatu yang selalu digenta Suatu yang selalu dipinta Suatu yang selalu berusaha dicipta Bahagia, Kapan akan ditampilkan? Siapa yang akan mewujudkan? Di mana ku akan dapatkan? Bahagia, Tak bisa didefinisikan Tak ada seorang pun dapat mempatenkan Apa itu bahagia yang sejati Bahagia, Itu sederhana Memupuk sejuta makna Melahirkan milyaran tresna Bahagia, Dalam satu kedipan mata Cukup, tak perlu lagi meminta Ketika tiada dusta Ketika kau dicinta Ketika kau jadi pelita Bahagia, Sesederhana itu

Aura

Gadis itu berdiri dengan tegap menghadap Sang Surya yang hendak beristirahat. Semburat langit oranye kekuningan menjadi latar belakang yang sempura baginya. Rambutnya yang warna coklat tampak keemasan dengan siraman sinar sore. Dari belakang pun tampak jelas, bahwa sekujur tubuh gadis itu kaku.                 Tak ada senyum yang menghiasi wajahnya. Bibirnya terkatup rapat dengan tegang. Tatapan matanya   sangat jauh, entah melayang ke mana. Kedua telapak tangannya tergenggam dengan kuat di samping tubuhnya. Ia tak berusaha untuk mengatasi angin yang terus meniupi dirinya, mengacaukan rambutnya, mengibarkan ujung-ujung pakaiannya. Ia biarkan dirinya dimiliki oleh alam untuk saat itu.                 Hatinya rapuh sudah. Hanya satu sentuhan saja, hancurlah jadi berkeping-keping. Ia tak peduli lagi. Biarlah hatinya hancur, yang penting ada pancaran kebahagiaan dari orang lain. Toh, hati yang sudah retak ini pun tak mampu dibenahi, bukan? Sekalian saja, hancurkan saja! Bentak ga

Meringkuk

Pekatnya awan malam memudarkan sinar Sang Dewi. Kecantikannya tertutup, semakin lama semakin lenyap dari angkasa. Padahal, seharusnya malam ini ia dapat memancarkan kecantikannya pada seluruh penjuru semesta. Seharusnya, semua mata tertuju padanya, terkagum akan pesonanya, dan membuat suasana begitu manis bagi setiap orang tanpa terkecuali. Seharusnya.                 Malam ini, angin bertiup cukup kencang, mendorong ranting-ranting bergesekan satu sama lain dan daun-daun melambai-lambai menyambut malam yang kian pekat. Udara menembus masuk dalam kamarku, memicuku untuk menarik selimut semakin tinggi. Mala mini seolah menjadi malam yang sangat sempurna untukku. Seluruh jagat raya dan semesta mendukungku. Mendukungku untuk meringkuk seperti bayi yang baru lahir dan meratapi diriku saat ini.                 Kalau boleh kembali ke masa lalu, aku ingin kembali. Kembali menjadi seorang anak kecil yang baru terlahir di dunia ini. Meringkuk dengan penuh kedamaian. Semua orang menyambutku

Cahaya di Penjuru Hati: Sebuah kisah yang menyihir setiap insan pembaca

Gambar
Sebuah kisah hidup yang penuh liku disajikan dengan sangat apik oleh penulis favorit saya, Alberthiene Endah. Bagi sebagian orang, mungkin kisah hidup alias biografi tergolong membosankan, karena alurnya yang begitu-begitu saja tanpa ada bumbu-bumbu fantasi di dalamnya. Bagi mereka penikmat biografi, tentu, biografi menyajikan kekhasannya sendiri yang membedakannya dengan jenis buku lainnya. Namun, kali ini, saya kira kisah pemilik Andi Publisher mampu menyihir setiap pembacanya dalam dunianya, tanpa terkecuali. Alurnya sangat menarik                 Pada setiap babnya, kisah diawali dengan kondisi pada tahun 2014, di mana J.H. Gondowijoyo berada pada titik kritis hidupnya untuk kesekian kali. Belahan jiwanya, jantung hatinya, bidadarinya, Liliawati Gondowijoyo tertidur selama beberapa waktu lamanya dalam ruang ICU. Namanya saja belahan jiwa, J.H. Gondowijoyo dikisahkan sungguh amat sedih dengan kondisi tersebut. Dengan setia, ia menemani sang istri tercinta ditemani sua

Senandika

Kutekuk kakiku dengan rapi di depan tubuh mungilku. Kupeluk erat-erat kakiku, seolah aku takut kehilangan suatu hal dariku. Kutempelkan sebagian wajahku pada lututku. Sebagian tubuhku menempel pada dinding yang berdiri tegak untuk menopang tubuhku. Mataku terpejam sangat rapat, teramat rapat bahkan. Ragaku di sini, tapi entahlah ke mana larinya jiwa serta pikiranku. Matahari yang menembus lewat kaca jendela di ketinggian menghangatkan tubuhku, seharusnya. Nyatanya, tidak sama sekali. Aku justru merasa dingin. Sekujur tubuhku terasa dingin, hatiku terasa beku. Sinar sang surya yang biasanya merangsang senyumku, justru kini memacuku untuk memusnahkan senyum itu. Tak ada sedikitpun minat untuk membangkitkan suasana hatiku yang kacau. Masih samar proyeksi kebahagiaan yang tersimpan dalam skemata. Setidaknya aku pernah bahagia , hiburku dalam hati. Terlintas dalam benakku, masa kecil tanpa beban – berlari mengejar gulungan kecil ombak, menari di tengah teriknya siang, dan menghitu

Ke mana?

Surya membangunkannya pagi itu. Matanya yang terpejam tergugah untuk segera terbuka, menyambut pancaran sinar yang masuk menembus lewat jendela kamarnya. Malam telah berlalu, namun rasa gundah itu masih belum berlalu dari hatinya. Rasa kalut masih menyelimuti hatinya. Matanya tergoda untuk sekali lagi terpejam, mengenang perasaannya semalam.                 Ia duduk merenung menatap objek langit di malam hari yang begitu cantik berbentuk bulat sempurna. Buku terbuka di atas mejanya, semua peralatan tulis sudah siap digunakan, dan lampu meja telah dinyalakannya sedari tadi. Namun, tidak ada tindakan yang dilakukannya selain bertopang dagu sambil memandang kecantikan rembulan. Ya, rembulan membangkitkan sisi melankolinya.                 Ke mana dia? Ia bertanya-tanya dalam hatinya. Pikirannya begitu kacau, banyak hal yang dipikirkannya. Bertubi keputusan harus segera ia ambil. Kejenuhan menyiksa otak serta batinnya. Sungguh, ia membutuhkan pencerahan. Ke mana dia ketika aku bu

The Blessing of Busyness

1 Korintus 15:10-11 "Tetapi karena kasih karunia Allah aku adalah sebagaimana aku ada sekarang, dan kasih karunia yang dianugerahkan-Nya kepadaku tidak sia-sia. Sebaliknya, aku telah bekerja lebih keras dari pada mereka semua; tetapi bukannya aku, melainkan kasih karunia Allah yang menyertai aku. Sebab itu, baik aku, maupun mereka, demikianlah kami mengajar dan demikianlah kamu menjadi percaya."           Menjadi sibuk adalah hal yang menyenangkan bagi sebagian orang. Bagaimana tidak, kita tidak perlu berpusing-pusing mencari ide apa yang harus dilakukan selama waktu senggang. Waktu yang ada akan terasa berlalu begitu cepat ketika kita menyelesaikan tiap pekerjaan satu per satu.           Jika ditarik ke belakang dan mengingat-ingat, sebenarnya, kita memiliki kesibukan karena memang kita terlahir untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan. Entah itu kesibukan di dunia pendidikan, pekerjaan, dan lain sebagainya. Tak jarang kita memiliki kesibukan-kesibukan berlebih yang ki

Menyelisik Tubuh Gereja HKY Surabaya

Well , sebenarnya tulisan ini dibuat dalam rangka praktik menulis saat pelatihan jurnalistik dan fotografi yang diselenggarakan oleh Seksi Komsos Paroki Hati Kudus Yesus (HKY) Surabaya. Sayang jika tidak di- publish. Here it is, enjoy it guys! * - * - * Berdiri di Jalan Polisi Istimewa 15 Surabaya, Gereja Katolik Hati Kudus Yesus (HKY) dikenal sebagai Katedral di Surabaya. Tubuhnya masih tegak berdiri walau telah berdiri sejak 1920. Wajahnya tak berbeda jauh dengan gereja katolik lain di Surabaya yang sudah dibangun bertahun-tahun yang lalu – bergaya arsitektur kolonial Belanda. Baik dari segi eksterior maupun interiornya tak banyak mengalami perubahan. Eksteriornya dibangun secara simetris antara sisi kiri maupun kanannya, seperti pintu, jendela, dan ruang pengakuan dosa. Sedangkan pada bagian interiornya, jendela di dinding atas dihiasi oleh gambar-gambar khas gereja. Tak hanya bangunan gereja utama yang digunakan untuk Perayaan Ekaristi yang menarik untuk disoroti. Berges

Rindu di Malam Minggu

Sendu di wajahnya tak lagi dapat dipungkiri. Tiada gerut kesedihan yang terlukis dari bibirnya yang sanggup disembunyikan. Matanya tak lagi bercahaya memancarkan kebahagiaan. Emosi di wajahnya tak lagi mengembang seperti biasanya. Semuanya telah musnah, seolah tidak ada lagi jejak kebahagiaan yang pernah mengisi hari-harinya. Kepalanya tersender pada tiang jendela besar tempatnya bertengger. Kakinya ditekuk di depan dadanya. Kedua tangannya memeluk kakinya.                 Suasana alam seolah memahami apa yang ia rasakan. Rasa tertahan yang begitu lama tak pernah ia sampaikan. Hujan terus turun tanpa ada tanda berhenti. Terus, dan terus. Kian deras, malahan. Suara tetes hujan di atas genting mengisi keheningan dalam hati serta pikirannya.                 Ya, sebenarnya rumahnya tak sepi. Cukup ramai bahkan. Ada beberapa keluarga jauh yang berkunjung, bermaksud untuk bercengkerama karena lama tak bertemu. Sedangkan, ia tak sudi ditemui. Bukannya ia tidak suka ada keluarga yang dat

Palma.

Gambar
picture: Felicia Luvena (luvenafelicia) Lima pekan berlalu sangat cepat, Bak sekedipan mata Tak terasa sedikitpun, Sungguh terlalu cepat                 Sisa sepekan, hanya sepekan                 Sepekan lagi untuk mempersiapkan diri                 Sepekan lagi untuk mengakhiri                 masa retret agung   ini Ratusan helai palma dilambaikan Ribuan tangan menjunjung tinggi Ratusan helai palma menari diudara Ribuan tangan berebut siraman air suci                 Sukacita, gelak tawa, dan kegembiraan                 Iringan organ serta nyanyian paduan suara                 Menyemarakkan suasana perayaan Ekaristi                 Menyambut tubuh Tuhan yang teramat kudus Daun palma tanda kemenangan Daun palma tanda kejayaan Minggu palma pertanda minggu sengsara Minggu palma pertanda awal pekan suci Hari dapat terhitung dengan jemari Bahkan cukup lima jemari Menemani Tuhan diakhir hayat-Nya Sebelum Ia buktikan cinta di salib

Rapuh

Iya, memang aku rapuh! Rapuh, tak kuat sedikitpun! Bahkan, badanku tak cukup kuat tuk menanggung bebanku sendiri Lelah, aku lelah Sampai kapan, tampak tak ada ujung Mana jalan keluar, mengapa tak ada tanda-tanda? Tak bolehkah aku keluar dari perangkap menyebalkan ini? Tangis tak lagi bisa dibendung Deru air mata terus mengalir Mengeluarkan setiap luka yang tersimpan dalam pelupuk mata Membasahi pipi, menghapus semua noda kesedihan Aku ingin berdiri, belari, Menjauh dari dunia yang gelap ini Aku rindu akan tiap kebahagiaan Yang selalu mengisi hariku Kemana mereka semua? Apakah mereka alergi terhadapku? Sungguh, siapapun, tolonglah aku! Aku tak mau jatuh terpuruk di sini Aku tak ingin hidup di sini Aku tak ingin bertahan dalam situasi ini Kumohon, lenyapkan aku dari situasi ini

Bintang

Sendiri lebih baik, pikirnya                 Di antara jutaan bintang dalam satu gugusnya, ia memang lain dari yang lain. Ketika hampir seluruh bintang tersebut berkumpul pada posisi tertentu, ia memilih untuk sendiri. Entahlah, ia tak ingat bagaimana kelahirannya. Ia tak ingat, apakah ia yang memilih untuk sendiri, atau sebaliknya ia memang terlahir untuk sendiri.                 Tak selamanya ia sendiri. Siklus rotasi yang dijalaninya di angkasa luas sesekali membuatnya berjumpa dengan beberapa rekan. Beberapa rekan membuatnya merasa berkelompok ternyata mengasyikan. Beberapa rekan justru membuatnya merasa sendiri adalah hal yang terindah yang dianugerahkan semesta kepadanya.                                Kala takdir menciptakanku                 Melahirkanku ‘tuk beradu                 Melawan gelap yang menyelimutiku                 Kutahu kumampu                 Karena takdirlah yang membawaku                 Kesendirian mengajarkannya untuk berimajinasi. T

Kilat di Ujung

Sebuah tatapan terarah padaku dengan begitu tajam. Aku mengenal tatapan itu, bisik hatiku. Pemilik tatapan itu – seorang pemuda – masih berdiri di ujung jalan. Perawakannya tinggi besar, dengan rambut gaya terkini – entah aku tak tahu apa nama jenis rambut tersebut – dan pakaiannya juga menunjukkan bahwa kini ia bertumbuh kian dewasa dengan pakaiannya yang tampak formal. Lepas dari semuanya, ada suatu hal yang membuatku tak asing – tatapannya. Sebuah tatapan yang membawaku bernostalgia pada kejadian tujuh tahun lalu. ***                 “Iya, kamu!” bentak seorang kakak kelas. Wajahnya begitu garang, membuatku ketakutan. Merasa tak dipanggil, aku menoleh ke sisi kanan dan kiriku, mencari-cari siapakah yang dimaksudkan oleh kakak senior ini.                 “Hei, kamu! Yang lagi nolah-noleh itu!” Astaga, benarkah diriku yang dimaksudnya? Kutunjuk diriku sendiri dengan jari telunjuk kananku. “Iya, kamu! Nggak usah nolah-noleh terus kamu!”                 Reflek, mera