1000 Camelia [part 16 - LAST PART]
Hai, Elena. Nanti malam bisa bertemu? Aku kangen
banget.
Pesan itu muncul pada layar ponsel
Elena begitu Elena membuka matanya. Suasana hatinya berubah menjadi sangat
bahagia. Ia yakin, jika ia berkaca saat itu juga pasti pipi bulatnya sudah
bewarna merah muda. Tanpa banyak berpikir panjang, Elena menyetujui permintaan
Alan.
Saking bahagianya
menerima pesan dari Alan dipagi hari, Elena sampai melupakan suatu hal yang
penting pada hari itu: hari ulang tahunnya. Bahkan, ia baru menyadari setelah
Sofia, Evan, Joan, dan beberapa teman lainnya memberikan kejutan kecil untuk
Elena. Tidak tampak Alan sama sekali, tapi Elena juga tidak berniat menanyakan keberadaan
Alan. Lilin berangka dua puluh telah ia tiup. Sebelumnya, ia membuat sebuah
harapan yang ia ucapkan pada malam sebelumya – keinginan bertemu dengan seorang
misterius yang mengiriminya Bunga Camelia putih setiap hari.
“Nanti malam jalan, yuk.” Ajak Evan.
“Wah sorry guys,aku sudah ada janjian.” Kata Elena. Tidak mungkin aku membatalkan janji dengan Alan, pikir Elena.
“Sama siapa, hayo…” goda Joan.
“Kita sudah keduluan someone special.” Kata Sofia.
Elena hanya tersenyum mendengarkan
teman-temannya. “Sorry guys, aku
masuk kelas dulu, ya. Keburu telat.”
***
Sebuah kotak berisikan halter dress bewarna merah marun
tergeletak di depan pintu ketika Elena memasuki rumah. Tertulis nama Elena di
atas kotak itu. Baru saja Elena menempelkan halter
dress pada tubuhnya, ponselnya sudah berbunyi, menandakan ada pesan masuk
dari Alan.
Selamat ulang tahun yang kedua
puluh, Elena. Semoga kamu suka kado yang sederhana itu. Nanti malam dipakai ya?
Elena hanya tersenyum membaca pesan
itu. Ia mendekap halter dress itu
dalam pelukannya, kemudian bergegas ke kamarnya.
***
Elena sudah pernah ke restoran itu sebelumnya,
tapi dengan pasangan yang berbeda. Suasana restoran itu tak banyak berbeda
dengan terakhir kali ia berkunjung hampir tiga tahun yang lalu. Malahan,
restoran ini semakin ramai pengunjung. Sekarang juga terdapat grand piano tepat di tengah ruangan.
Kini, dihadapan Elena, duduk seorang
Alan yang tampak sangat mempesona. Penampilannya berbeda malam ini dengan
mengenakan setelan formal dan rapi. Elena sendiri mengenakan halter dress yang diberikan Alan tadi,
sesuai permintaan Alan pula.
Ada sesuatu yang menarik perhatian
Elena di atas meja. Biasanya, yang ada di atas meja adalah Bunga Mawar merah.
Tapi kali ini yang ada di atas meja adalah Bunga Camelia putih. Tampak sangat
sempurna.
“Len, sebelum kamu bertanya mengapa
aku membawamu ke sini, karena aku ingin merayakan ulang tahunmu dengan
memberikan sesuatu yang spesial.” Kata Alan sebelum Elena bertanya, seolah Alan
tahu apa yang ingin dikatakan Elena. “Malam ini kamu sangat cantik.”
“Makasih, Lan.” Elena tersenyum. Ia
yakin pipinya sudah menjadi merah muda sekarang. “Tapi menurutku ini terlalu
berlebihan.”
“Kepingin traktir kamu
sekali-sekali.” Alan melemparkan sebuah senyuman miring, membuat jantung Elena
tiba-tiba berdebar dua kali lebih cepat. “Nah, kebetulan makannya sudah datang.
Makan dulu, yuk.”
Setelah makan,
Alan mengajak Elena tepat ke tengah ruangan di mana grand piano itu diletakkan. Elena melingkarkan tangannya pada
tangan Alan. Beberapa pasang mata mulai terarah pada Alan dan Elena. Alan
tampak percaya diri dan tidak memedulikan hal tersebut. Sedangkan Elena, rasa
gugup mulai merambahinya. Tidak pernah ia berada pada kondisi seperti ini
sebelumnya.
“Lan, nggak enak lho, banyak yang ngelihatin.” Bisik
Elena. “Kamu mau ngapain sih?”
“Sudah tenang aja, Len.” Alan duduk
dibangku piano, kemudian mengisyaratkan Elena untuk duduk di sampingnya. “Sini,
Len.”
Penuh ragu-ragu, namun pada akhirnya
Elena duduk di samping Alan. Agar orang lain tidak melihat kegugupannya, Elena
hanya mengarahkan pandangan pada jemari Alan yang sudah berada di atas
tuts-tuts piano. “Memangnya kamu bisa main piano, Lan?”
Alan tidak menjawab pertanyaan Elena
dengan kata-kata. Alan hanya melemparkan sebuah senyuman yang lagi-lagi membuat
jantung Elena berdegup kencang. Kemudian, dalam hitungan detik, alunan musis
piano yang dihasilkan oleh jemari Alan mulai memenuhi ruangan, menembus
keramaian restoran.
Elena begitu terpesona pada
permainan piano Alan, begitu juga semua pengunjung yang hadir, tidak terkecuali
pelayan-pelayan restoran. Semua mata memandang Alan, seolah Alan memang
memainkan musik itu untuk semua orang yang hadir. Elena bahkan tidak tahu bahwa
sebenarnya Alan bisa bermain piano. Selama ini Alan tidak banyak bercerita
tentang dirinya, dan memang mereka juga jarang bertemu.
Seusai Alan memainkan sebuah lagu,
semua pengunjung yang hadir memberikan tepukan tangan sambil berdiri. Alan pun
member hormat pada mereka semua bak pianis seusai konser. Kemudian, Alan
mengambil sesuatu yang terletak di atas meja dibalik piano – sebuket Bunga Camelia
putih. Elena bahkan tidak menyadari keberadaan meja itu, apalagi Bunga Camelia.
Alan berlutut, kemudian menyerahkan
buket itu. Elena membeku beberapa saat. Ia tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Lidahnya pun kelu, tidak mampu mengeluarkan sepatah katapun.
“Len, kamu akan tahu kebenarannya
malam ini. Akulah selama ini yang memberikan Bunga Camelia serta gulungan surat
setiap hari. Ya, kuakui aku tidak adil karena tidak membiarkan kamu tahu sejak
awal. Kini aku akan menggenapkan rangkaian Bunga Camelia itu menjadi 1000
tangkai. Ini adalah Bunga Camelia ke 1000 dan dalam buket ini juga terdapat
1000 tangkai Camelia. Buat aku, 1000 itu angka yang sempurna, angka yang besar.”
Kini, Elena menahan napasnya. “Aku ingin 1000 tangkai Bunga Camelia itu
mewakili perasaanku padamu. Memang, perasaan ini tidak sempurna, tapi perasaan
ini sangat besar. Aku ingin menyempurnakan perasaan ini dengan perasaanmu.” Alan
bangkit berdiri, menatap mata Elena lekat-lekat. “Aku mencintaimu, Elena
Talia.”
Seluruh pengunjung bersorak bahagia.
Elena bahkan baru sadar bahwa sedari tadi para pengunjung memerhatikan mereka,
seolah mereka adalah objek tontonan. Tapi, kini Elena tidak memedulikan
pengunjung itu lagi. Ada sebuah perasaan terlampau bahagia meledak-ledak dalam
hatinya. Elena merasa seakan ada sesuatu yang mengisi kekosongan hatinya, yang
menciptakan semangat yang baru, kebahagiaan yang baru. Dan Elena yakin hal itu
disebabkan seorang pemuda yang berdiri di hadapannya.
Elena tidak memiliki kata-kata lagi
untuk dikatakan. Elena menerima buket bunga itu, kemudian memeluk Alan dengan
erat. “Aku juga mencintaimu, Lan.” Bisiknya. Tepuk tangan kembali menggema
hingga akhirnya mulai surut dengan sendirinya.
Alan mengajak Elena kembali ke
tempat duduknya. Senyuman terus mengembang di wajah Alan dan Elena. Mata Elena
tidak bisa lepas dari mata Alan, begitu juga Alan.
“Jadi, selama ini kamu
menyembunyikan perasaanmu dengan sangat rapi.”
“Aku nggak punya pilihan.” Kata
Alan. “Ketika Evan bilang kalau dia cinta kamu, aku masih belum ada perasaan
buat kamu. Jadi, aku merasa biasa-biasa saja. Kemudian, lambat laun aku mulai
merasakan sesuatu yang lain. Semakin besar usahaku untuk membantu Evan
mendekatimu, semakin perih hati ini. Sampai akhirnya kuputuskan untuk berhenti
membantu Evan. Aku tidak ingin terlibat lagi.
“Nggak mungkin juga aku mengatakan
pada Evan kalau aku mulai menyukai kamu. Aku nggak ingin masalah hati ini
mencampuri persahabatan. Apalagi merusaknya. Jadi kuputuskan untuk mengagumimu
diam-diam, menjadi penggemar rahasiamu.”
“Aku nggak menyangka banget.” Elena
tersenyum. “Waktu itu, aku nggak bisa menerima Evan. Alasannya selain aku hanya
menganggap dia sahabatku, hatiku juga lebih memilih yang lain tanpa kusadari.” Elena
memegang telapak tangan Alan. “Yaitu kamu.”
Alan berdiri di samping Elena, lalu
meraih tangannya. “Ayo ikut aku, masih ada satu kejutan lagi.”
Tanpa banyak bertanya, Elena
langsung mengikuti Alan. Kini, tangan Elena berada dalam genggaman tangan Alan.
Alan mengajak Elena ke lantai paling atas di restoran itu, kemudian berdiri di
balkon. Lalu Alan memberikan sebuah kode pada seorang pelayan. Dalam hitungan
detik, kembang api menghiasi langit malam.
“Semoga kamu menikmati malam ini.
Makanannya, musiknya, Bunga Camelia, dan juga kembang api.” Alan merangkul
pundak Elena. “Semoga hari ini masuk dalam daftar hari spesialmu.”
“Lan, ini lebih dari spesial.” Elena
menempelkan kepalanya pada tubuh Alan. “Sekali lagi, makasih buat semuanya. Seharusnya
kamu nggak usah repot seperti ini.”
“Nggak ada sesuatu yang repot kalau
dilakukan dengan ketulusan dan cinta.”
“Lan, omong-omong,” Elena
memalingkan tubuhnya hingga ia berdiri berhadapan dengan Alan. “kamu tahu dari
mana tentang Bunga Camelia, piano, dan kembang api?”
“Yang pertama, Bunga Camelia. Inget
nggak waktu itu kita pernah pergi bardua buat mencarikan hadiah buat Sofia?
Waktu kamu lagi sibuk pilih bunga, aku ‘kan menyarankan beli Bunga Camelia buat
Sofia. Tapi kamu menolaknya. Dari tatapanmu dan nada bicaramu, aku yakin bahwa
Bunga Camelia itu bunga favoritmu dan seolah kamu nggak mau ada orang lain yang
memiliki.”
“Benar sekali.” Kata Elena. Bahkan
Elena tidak menyadari tindakannya sendiri. Alan memang sangat peka.
“Lanjutkan.”
“Yang kedua, piano. Yang ini aku
tahu dari Sofia. Dia pernah bilang kalau kamu suka banget sama piano. Dulu kamu
pernah mau belajar, tapi orang tuamu nggak mengizinkan. Kata Sofia, kamu juga
sangat suka kalau melihat cowok bermain piano. Ya sudah, kulakukan saja.” Alan
diam sejenak. “Tunggu, apa kamu suka permainan pianoku? Atau jangan-jangan kamu
sangat amat terpesona?”
Elena tersenyum malu-malu.
Lagi-lagi, pipinya terasa panas. Elena memukul pelan lengan Alan. “Lanjutkan.”
“Oke, oke.” Alan tertawa. “Yang
ketiga tentang kembang api, aku hanya menebak-nebak. Sepertinya, tidak ada
cewek yang tidak suka dengan kembang api, apalagi kalau menonton pertunjukan
kembang api dengan pangerannya.”
Lagi-lagi, Elena memukul Alan pelan
sambil tertawa. “Alan! Aku nggak mengira kamu senarsis ini.”
Alan langsung memeluk tubuh mungil
Elena. Otomatis, tubuh mungil Elena tenggelam. Alan mengelus rambut Elena
dengan lembut, lalu menghadiahinya sebuah kecupan. “Len, mulai sekarang, aku
akan terus mencintaimu. Kamu lihat bulan itu? Mungkin aku seperti itu. Mungkin
aku membutuhkanmu, bagaikan bulan membutuhkan matahari untuk memancarkan
sinarnya.”
[]
Komentar
Posting Komentar