1000 Camelia [Part 05]
Pukul
empat sore datang begitu cepat. Baru saja Elena akan tertidur pulas, namun
alarm sudah menjerit-jerit membangunkannya. Agar tidak semakin malas, Elena
memutuskan untuk segera mandi dan bersiap.
Hampir
tiga puluh menit lamanya Elena berada di depan lemari pakaiannya,
menimbang-nimbang pakaian mana yang akan ia kenakan pada malam ini. Satu
pakaian terpilih, tapi ia merasa tidak cocok. Begitu seterusnya hingga hampir
semua pakaiannya keluar dari lemari. Jatuhlah pilihan pada pakaian yang sudah
lama tidak ia kenakan. Tidak pernah ia kenakan mungkin.
Menit-menit
selanjutnya ia isi dengan persiapannya berbenah diri. Dari make-up, rambut hingga aksesori yang ia kenakan tidak luput dari
perhatiannya malam ini.
Pada
akhirnya, kerepotannya tidak tampak pada hasilnya. Hanya bedak tipis yang
menghiasi wajah, dengan rambut panjang yang dibiarkan terurai, blus bergaris
hitam-putih yang dipadukan dengan celana pendek warna putih, tas selempang
kecil warna hitam, dan sepasang sneakers
kekinian. Sekali lagi ia berputar-putar di depan cermin, melihat penampilannya.
Cukup bagus, pikirnya.
“Len,
Elena!” panggil kakaknya – Elvira – dari lantai satu. “Ada temen kamu nih,
Len!”
“Iya,
iya, Vir!” kata Elena dari dalam kamarnya. Entah mengapa, jantung Elena
berdegup dua kali lebih cepat. Tidak berpikir yang lain, Elena menganggapnya
karena ia terburu-buru.
Di
lantai satu rumahnya – di ruang tamu – Alan duduk dengan santai, berbicara
dengan kakaknya. Alan tampak mengenakan kaus berlengan panjang dengan celana
panjang juga. Tampak sangat kasual, tidak seperti Elena. Tidak peduli, Elena
melangkah dengan santai ke arah kakaknya dan Alan yang sedang asyik berbicara.
“Oke,
sudah siap.” Kata Elena sambil tersenyum.
Elvira
menatap adiknya dari atas ke bawah, bawah ke atas. “Len, kok bajunya kayak gitu
sih? Nggak cocok banget kalau mau jalan sama Alan.” Berbeda dengan kakaknya
yang sangat fashionable, Elena tidak
terlalu peduli dengan penampilannya. Hanya heboh dipersiapannya, tapi hasil
akhirnya nol. Yang penting nyaman, begitu prinsip Elena.
“Aduh,
nggak apa-apalah, Vir.” Kata Elena. “Ayo, Lan.”
“Sudah
cantik kok Elena, Kak.” Kata Alan dengan sopan.
“Nggak
usah pakai panggilan ‘kak’, Lan.” Elena setengah tertawa. “Kedengeran aneh.
Elvira langsung aja.”
“Tuh,
Alan jadi adikku aja deh, Len.” Balas Elvira. “Udah deh, cepetan pergi. Keburu
kemalaman.”
***
“Jadi
hari ini Evan dan Juan nggak ikutan, Lan?”
Pusat
wisata kuliner di kawasan Surabaya Barat itu belum pernah Elena kunjungi
sebelumnya. Semenjak pembukaan tempat itu, Elena sudah ingin pergi ke sana.
Tapi selalu saja ada yang membuatnya tidak sempat. Beruntung sekali malam ini
Alan mengajaknya kemari. Sebuah kejutan yang manis sebagai awal persahabatan,
begitu kata Alan.
“Iya,
memang disengaja seperti itu.” Alan tersenyum misterius.
Elena
agak curiga. “Kok seperti itu sih?”
“Tenang,
tenang Elena.” Alan menyodorkan minuman Elena. “Aku nggak akan berbuat jahat
atau hal negatif apapun.”
“Lalu?”
“Hanya
ingin mengenalmu lebih baik. Lebih dekat.”
“Oke,
alasan diterima.” Elena menyeruput lemon
tea-nya. “Untuk mengawali, silakan menceritakan tentang dirimu.”
“Aku?”
Alan heran, Elena hanya menjawabnya dengan sebuah anggukan. “Baiklah. Aku orang
Surabaya, tapi lahir dan besar di Jakarta.”
“Begitu
saja?” Tanya Elena setelah beberapa saat hening. “Lalu, kenapa kamu balik ke
Surabaya lagi? Bukannya orang-orang berlomba untuk hijrah ke Jakarta? Memangnya
kamu di Jakarta kenapa?”
“Kehidupanku
di Jakarta sudah sangat baik. Keluarga yang tercukupi dan penuh kasih sayang,
teman-teman yang kompak. Tapi aku merasa ada bagian dari diriku yang tidak
lengkap. Aku merindukan Surabaya, walaupun aku jarang ke Surabaya.” Kata Alan.
“Aku ingin mencari suasana yang baru.”
“Di
Jakarta belum punya pacar ya.” Goda Elena. Alan terkaget, kemudian tersipu
malu. “Kalau udah punya pacar, nggak mungkin datang ke Surabaya.”
“Belum
tentu.” Balas Alan. “Sekarang gantian dulu. Giliranmu.”
“Aku
lahir dan besar di Surabaya. Anak ketiga dari tiga bersaudara. Hanya sesekali
di Jakarta untuk mengunjungi kakak laki-lakiku yang sudah menikah. Hobiku, yang
penting keluar jalan-jalan selain nge-mall,
fotografi, baca buku, main musik. Sesekali juga menulis.” Elena memperbaiki
posisi duduknya. “Oh iya, hobimu apa, Lan?”
“Sama
seperti kamu. Aku suka jalan-jalan selain nge-mall,
fotografi juga. Baca buku tidak terlalu. Nggak terlalu banyak hobiku. Di
Jakarta aku lebih dibiasakan untuk membangun hidup yang mapan dan mengejar
impianku. Jadi, nggak banyak waktu luang untuk diisi dengan hobi.” Alan tersenyum.
“Jadi, di sinilah aku bisa melakukan apapun yang ingin kulakukan. Menjalani
hidup sambil mengejar mimpi dan melakukan hobi secara seimbang.”
Alan
dan Elena tampak sangat menikmati malam itu. Alan mendengarkan tiap perkataan
Elena dengan saksama, seolah tiap perkataan Elena terekam dan diingatnya dengan
baik. Demikian juga Elena yang memerhatikan tiap kalimat, dan mencatat dalam
hati apa yang mengena baginya.
“Oh
ya, omong-omong, kamu kok bisa tahu nomor teleponku?” Elena menyendok es
krimnya, kemudian melahapnya dengan lembut. Kini ia sudah cukup kenyang,
tinggal penutup. Es krim selalu menjadi pilihannya untuk hidangan penutup.
Sekali
lagi, Alan melemparkan senyuman misteriusnya. “Ada deh. Nggak perlu tahu dari
mana aku mendapatkan nomor teleponmu.”
“Pasti
Evan atau Joan.” Gumamnya lirih. “Dasar laki-laki.”
“Temanmu
Sofia menyukai bunganya?” Tanya Alan tiba-tiba mengalihkan topik pembicaraanya.
“Ya, tentu saja.” Elena tersenyum. “Trims sudah
membantuku memilih bunganya. Lain waktu, aku pasti mengenalkannya padamu.”
Komentar
Posting Komentar