Surya dan Mentari

Andai, cerita kita seperti Surya dan Mentari.

Rupanya, hari ini hari ke tiga puluh. Tepat tiga puluh coretan merah kecil-kecil juga melintang pada kalender kecil yang bertengger di atas mejaku. Tepat tiga puluh hari, tirai biru tua menghalangi sentuhan alam menembus kamarku. Tepat empat minggu, aku terbenam dalam duniaku.

Kalau bukan karena burung kecil yang mendadak hinggap mengetuk-ngetuk kaca jendelaku, aku belum mau bersentuhan dengan alam. Ruang kamar seluas lima meter persegi ini sudah cukup menjadi duniaku, menjadi semestaku. Balut selimut sudah cukup menenangkanku.

Sekali lagi, kutarik selimut hingga menutup seluruh tubuhku. Kubungkam telinga dengan bantal, berharap sunyi segera menguasaiku. Sial, burung kecil terus mengetuk-ngetuk kaca jendelaku. Langit terhampar sangat luas untuk dilewatinya, kenapa mesti mengganggu siangku?

"Akhirnya, kamar ini disiram sinar matahari."

Seorang perempuan dengan rambut pendek sebahu memasuki teritoriku. Secara tidak sengaja, Carla adalah makhluk hidup kedua yang memasuki teritoriku.

"Tidak ada salam?"

"Selamat siang, Nona Julie yang cantik. Akhirnya kau menerima tamu."

"Belum. Tapi kau masuk tanpa persetujuanku," ucapku dingin. "Atau jangan-jangan kau bersekongkol dengan burung kecil sialan ini?"

"Bagaimana harimu?"

"Biasa. Semua berjalan baik-baik saja." Kenapa Carla tidak menangkap sinyal ketidaknyamananku ini?

"Jangan mengingkari hatimu," Carla mendekat padaku. "Lupakan saja dia, Julie."

"Aku sedang menikmati siksa emosi dan kenang yang terus menganiaya batin."

"Sampai kapan?"

"Sampai Surya dan Mentari berhenti mencintai satu sama lain."

"Aku harap tidak ada reaksi obat yang sedang bekerja dalam tubuhmu, Julie." Carla menyentuh pundakku, mengguncang tubuh beberapa kali.

"Andai kamu merasakan ini, tentulah kau benci kepada Surya dan Mentari."

"Kenapa?"

Kuambil kerajinan tangan yang sudah kubuat selama tiga puluh hari terakhir, yang kurangkai dengan sepenuh hati. Sebuah lingkaran tiga dimensi dengan diameter tujuh belas sentimeter. Sebagian sisinya kuwarna dengan kuning, sedang sisi lainnya bercorak langit malam dengan dua belas bintang.  Satu bola lagi berukuran satu pertiga lebih kecil, adalah bulan, dengan delapan cekungan besar dan sembilan cekungan kecil.

"Apa ini, Julie?"

"Lihat, betapa besar ikatan dan cinta Surya dan Mentari," kataku. "Mentari memberi energi bagi Surya untuk bercahaya, untuk membuat makhluk di bumi terpesona akan keindahannya. Tanpa hadirnya Surya, Mentari akan terus berpendar dan mustahil tercipta langit malam bertabur bintang," kuputar bola yang besar itu.

"Lalu?"

"Mereka selalu berkomitmen, bersama menciptakan lanskap sempurna, membuat setiap mata dan hati memujanya. Tak peduli seberapa jauh jarak memisahkannya, cinta tetap bersemi di antara mereka."

Ya, aku iri dan benci, bahwa cinta sejati itu hanya benar-benar ada, pada alam semesta. Giliran untuk merasa dan hidup dalam cinta itu, belum berpihak pada makhluk fana bernama manusia.

Kubuka tirai biru tua itu, mengizinkan mentari untuk menembus kamarku. Biarkan siksa emosi, kenang, iri, dan benci, berpadu untuk menghancurkan sekaligus menguatkan jiwaku.

Komentar

  1. Tulisan yang sangat cocok dibaca sore hari sembari menikmati kopi. Tetapi tulisan ini tidak cocok jika dibaca saat mencuci baju keponakanmu :(

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zebra Cross.

Oasis