1000 Camelia [part 13]
Alan duduk
termenung seorang diri di pinggir jendela kamarnya. Garis bibirnya tertarik
sedikit membentuk senyuman tipis. Ia tidak habis pikir dengan dirinya sendiri,
tentang apa yang baru saja ia lakukan sore tadi. Bisa dikatakan agak sedikit
gila.
Tapi apa yang ia lakukan adalah
sesuai kata hatinya. Alan juga merasa ada suatu kekuatan lain yang mengarahkan
tangan dan kakinya untuk melakukan itu.
Pandangannya terarah pada bulan purnama yang bersinar terang malam itu. Entahlah,
ide gilanya selalu muncul ketika mendekati bulan purnama. Mungkin ada
keterkaitan antara dirinya dan sang raja malam.
Alan tidak habis pikir dengan apa
yang ia rasakan beberapa minggu terakhir ini. Pikirannya dan hatinya kadang
tidak sejalan. Ia tidak yakin apa yang menyebabkannya. Yang pasti, ia merasa jauh
lebih baik setelah berkunjung ke rumah itu.
Mungkin perasaanku akan membaik jika
bertemu dengannya, pikir Alan. Segera, Alan menyingkirkan pikiran itu
jauh-jauh.
Sahabatnya sudah menyukai gadis itu
lebih dulu. Mencintai tepatnya.
Porsinya adalah mengaguminya dari
jauh secara perlahan, dan diam-diam.
***
Keesokan harinya, Elena menemukan benda
yang sama, namun pesan yang berbeda.
You are a beautiful girl, inside and outside.
Ia tidak tahu harus melakukan apa.
Kembali ia melakukan hal yang sama dilakukannya kemarin – menyimpan bunga itu
dalam segelas air dan menyimpan gulungan kertas itu pada sebuah toples kecil.
***
Seminggu berlalu, tujuh tangkai
bunga Camelia bewarna putih datang beserta dengan tujuh gulungan kertas kecil
dengan pesannya masing-masing. Kini, Elena mulai yakin kalau sepasang benda itu
memang ditujukan untuknya, bukan salah kirim atau sebagainya. Rasa penasaran
besar menghantuinya. Tentu saja ia ingin tahu siapa pelakunya.
Kemungkinan tersangka pertama adalah
Evan. Ya, ia merasa akhir-akhir ini – hampir tiga bulan ini bahkan – Evan
berusaha mendekatinya. Mendekati dalam makna yang lain, tentunya. Entah itu
hanya perasaan Elena atau memang benar adanya. Sekarang juga Evan lebih sering
mengajak Elena hang out berdua tanpa
Joan. Padahal, dulu Joan tidak pernah absen dari hang out mereka. Mungkin saja
Joan sibuk, pikirnya.
Kemungkinan tersangka kedua adalah Alan.
Kebalikan dari hubungannya dengan Evan, justru akhir-akhir ini Elena hampir
tidak pernah bertemu Alan. Sekali dua kali bertemu di kampus, itupun hanya
sekadar sapa. Tidak ada perbincangan yang berarti. Chat pun juga jarang dilakukan. Hanya jika Alan ingin konsultasi
tentang spot di Surabaya yang menarik
untuk dikunjungi. Terkadang Elena merindukan Alan, merasa ada sesuatu yang
hilang dari dirinya.
Kemungkinan tersangka ketiga adalah
penggemar rahasianya yang tidak ia ketahui. Oh, tidak. Jangan berpikir
aneh-aneh. Tidak mungkin ada penggemar rahasia. Memang, apa yang bisa
dibanggakan dari Elena si gadis yang super sederhana?
“Len. Jangan ngelamun terus dong.”
Kata Sofia. “Aku udah duduk manis di sini hampir sejam. Katanya kamu mau
curhat. Tapi kok dari tadi aku dikasih pemandangan yang sama ya, hanya
mengaduk-aduk kopi.”
“Eh, sorry Sof.” Lamunan Elena buyar. “Saking banyaknya cerita, aku
sampai bingung mau mulai dari mana.”
“Hmm, kalau nggak salah kamu bilang
kamu mau cerita tentang bunga atau apa–“
“Oh aku ingat!” seru Elena. Saking
semangatnya, sendok pada cangkirnya hingga terjatuh ke atas meja. “Oke, intinya
aku tidak tahu siapa yang terlibat dibalik ini semua.” Kata Elena. “Sudah seminggu
ini aku menerima bunga dan gulungan kertas kecil. Setiap hari selalu ada satu
tangkai Bunga Camelia dengan gulungan surat kecil.”
“Wah, sudah punya penggemar rahasia,
nih!” goda Sofia.
“Sof, masalahnya aku nggak tahu
siapa pelakunya. Nggak ada tulisannya dari siapa. Aku juga nggak kenal itu
tulisan siapa. Kalau salah alamat, masak
salah alamat selama satu minggu?”
“Kamu nggak mau coba tanya ke Evan,
Len?”
“Evan?”
“Ya, siapa tahu Evan tahu siapa
dibalik ini semua.” Kata Sofia. “Atau jangan-jangan, Evan pelakunya? Atau…
Alan?”
“Hah Evan? Nggak, nggak mungkin.
Evan bukan tipe romantis seperti itu. Lagi pula, aku juga tahu tulisan Evan seburuk apa. Kalau
Alan… Kemungkinan besar nggak. Soalnya sudah jarang ketemu Alan lagi. Menurutku
dia juga bukan tipe orang yang seperti itu.” Tiba-tiba ponsel Elena berbunyi tanda
ada panggilan masuk. “Eh, sebentar ya, Sof.” Setelah permisi pada Sofia, Elena
menjauh. Tumben-tumben sekali Evan meneleponnya. “Halo Van? Nanti sore? Jam 6?
Berdua aja? Joan dan Alan kok nggak diajak sih? Oh, gitu ya. Oke deh. Bye.”
“Siapa Len?”
“Evan.” Elena meninum kopinyayang
sudah hangat. “Nanti sore dia ajak aku ketemuan. Aku bingung. Sekarang dia
jarang ajak Joan dan Alan. Apa mereka bertengkar, ya?”
“Len, jangan berpikir aneh-aneh
dong.” Sofia menepuk tangan sahabatnya dengan lembut. “Firasatku, ada yang
bakalan berbunga-bunga malam ini.”
***
Komentar
Posting Komentar