1000 Camelia [Part 12]
Alan menyalahkan
dirinya sendiri karena telah menolak tawaran Evan untuk mengantarnya pulang ke
kostnya. Seharusnya ia menerima tawaran Evan dengan senang hati. Kini, ia
kehujanan. Sialnya, ia tidak membawa payung ataupun jas hujan dalam tasnya.
Alan berlari kecil untuk mencari tempat
berteduh. Tanpa ia sadari, kaki Alan terus berlari kecil yang mengarahkannya
pada suatu tempat yang tidak asing baginya. Ya, Alan pernah mampir ke tempat
ini sekitar empat bulan yang lalu, bersama Elena.
Entah apa yang membuat Alan otomatis
kemari, dan secara otomatis juga membeli sebuket kecil Bunga Camelia bewarna
putih. Bunga itu masih segar. Kelopaknya terasa sangat lembut saat disentuh.
Beruntung, tak lama kemudian hujan reda dan Alan bisa segera pulang, dan
menjalankan rencana yang tiba-tiba muncul di otaknya.
Rumah itu tak
banyak berubah selama tiga bulan ia tidak pernah kemari – selalu bersih dan
tampak asri dengan beberapa tumbuhan pemanis lahan kosong di bagian depan
rumah.
Alan menarik setangkai Bunga Camelia
warna putih dan mengambil secarik kertas kecil dari dalam tasnya. Ditulisnyalah
sebuah kalimat kemudian digulungnya dengan pita kecil yang dibelinya tadi. Diikatnya
gulungan kertas kecil pada setangkai bunga Camelia.
Alan menghembuskan napasnya pendek,
lalu mengumpulkan segenap keberanian. Ia meninggalkan tas serta buket kecil
Bunga Camelia di seberang rumah. Alan menyeberang jalan, kemudian meletakkan
‘bingkisan kecilnya’ itu pada pagar, dan segera meninggalkan rumah itu seolah
tidak ada yang terjadi ataupun tidak ada yang ia lakukan.
***
“Vir! Vira!” teriak Elena begitu ia
memasuki rumah. Kakaknya yang sedang asyik membaca majalah di ruang keluarga
saking terkejutnya sampai hampir terjatuh dari sofa.
“Astaga, Elena! Aku tahu kalau kamu excited banget hari pertama masuk
kuliah, tapi nggak gitu juga, pulang-pulang kok teriak-teriak gitu–“ belum
selesai Elvira menyelesaikan kalimatnya, Elena sudah meluncur duduk di
sampingnya. Saking kerasnya Elena duduk, Elvira sampai terlempar dari duduknya
selama kurang dari dua detik. “Adikku sayang, jangan bertindak gila kayak gini
dong.”
“Dengerin aku dulu, Vir.” Kata Elena
sambil terengah-engah.
“Minum dulu deh, daripada kayak
habis dikejar anjing, Len. Atau jangan-jangan kamu memang habis dikejar anjing
nih?”
“Anjingnya yang aku kejar.” Kata
Elena. “Tunggu, tunggu. Aku nanya dulu sama kamu. Kamu lagi deket sama cowok
mana lagi, Vir?”
“Apaan sih Len kok dateng-dateng
nanya beginian?”
“Udah jawab aja dulu!”
“Elena, pacarku itu lagi di
Singapura. Kamu ingat itu ‘kan? Masakan kamu udah lupa?”
“Ingat kok, si kutu buku yang culun
itu ‘kan?” kata Elena dengan nada bercanda. Elvira mengepalkan tangannya, baru
saja akan mencubit pipi bulat adiknya namun sudah ditangkis oleh Elena terlebih
dahulu. “Eits, tunggu dulu, Vir. Aku nanya soalnya aku nemu ini…” Elena
mengambil setangkai Bunga Camelia bewarna putih dari belakangnya, kemudian
menyerahkannya pada Elvira. “Ini, lihat. Jelas-jelas disini ada surat kecilnya.
Aku belum buka kok, tenang aja. Tapi di sana keliatan sedikit ‘Dear ET’.”
Sejenak Elvira melihat bunga itu,
kemudian membuka gulungan kertas kecil itu perlahan. Dibacanya pesan yang
tertera di sana. “Aku nggak kenal sama tulisan tangan ini. Lagi pula, inisial
namamu itu juga ET. Jadi, belum tentu ini untukku.” Elvira menatap adiknya
dengan penuh kecurigaan. “Memangnya, kenapa kamu kok berpikir ini buat aku?”
“Nggak mungkin kalau buat aku dong,
Vir. Semuanya pada takut lihat aku.”
“Belum tentu, siapa tahu dihari
pertama kamu sudah punya penggemar misterius.”
Elena mengambil bunga itu dari
Elvira. “Ya sudahlah, aku yang simpen aja. Lagi pula, Bunga Camelia ini kan
bunga favoritku.”
Dalam hitungan
detik, Elena sudah berada di dalam kamarnya. Tasnya ia lempar begitu saja di
atas kursi dan ia segera lompat ke atas kasurnya. Hanya setangkai Bunga Camelia
serta gulungan kertas kecil yang dibawanya. Gulungan kertas itu sudah setengah
terbuka. Sejenak ia ragu untuk membukanya. Namun, pada akhirnya ia membuka
gulungan itu secara perlahan.
It’s nice to know you, ET
Hanya itu yang
tertulis. Tulisan tangan itu cukup rapi. Elena menduga seorang laki-laki yang
menulis itu. Entah mengapa, ia tiba-tiba merasa pipinya bersemu kemerahan,
seolah kalimat itu memang ditujukan untuknya. Padahal, belum tentu. Bisa saja
salah kirim atau bagaimana. Mencegah imajinasinya ke mana-mana, Elena
memutuskan segera menyiapkan gelas berisi air untuk ‘menyelamatkan’ setangkai
bunga cantik itu.
***
Komentar
Posting Komentar