Postingan

Menampilkan postingan dari Mei, 2016

1000 Camelia [part 16 - LAST PART]

Hai, Elena. Nanti malam bisa bertemu? Aku kangen banget .             Pesan itu muncul pada layar ponsel Elena begitu Elena membuka matanya. Suasana hatinya berubah menjadi sangat bahagia. Ia yakin, jika ia berkaca saat itu juga pasti pipi bulatnya sudah bewarna merah muda. Tanpa banyak berpikir panjang, Elena menyetujui permintaan Alan. Saking bahagianya menerima pesan dari Alan dipagi hari, Elena sampai melupakan suatu hal yang penting pada hari itu: hari ulang tahunnya. Bahkan, ia baru menyadari setelah Sofia, Evan, Joan, dan beberapa teman lainnya memberikan kejutan kecil untuk Elena. Tidak tampak Alan sama sekali, tapi Elena juga tidak berniat menanyakan keberadaan Alan. Lilin berangka dua puluh telah ia tiup. Sebelumnya, ia membuat sebuah harapan yang ia ucapkan pada malam sebelumya – keinginan bertemu dengan seorang misterius yang mengiriminya Bunga Camelia putih setiap hari.

1000 Camelia [part 15]

Sejujurnya, Elena berharap Alan memberikan jawaban yang lebih. Paling tidak memberikan pemecahan masalah dalam bentuk konkretnya. Tapi, entah mengapa jawaban Alan yang sebenarnya sama sekali tidak memuaskan itu dapat menenangkan hatinya. Setidaknya membuat pikirannya sedikit lebih jernih.             “Len, kamu nggak apa-apa?” tanpa Elena sadari Elvira sudah duduk di sampingnya, memeluk pundaknya. “Kamu kelihatan pendiam akhir-akhir ini. Cerita dong sama aku. Tentang pengirim bunga itu ya?”             “Aku nggak terlalu memikirkan itu, Vir. Toh nggak membahayakan, dan aku suka banget sama Bunga Camelia.”

1000 Camelia [part 14]

Beruntung sekali, Elena langsung menyetujui ajakan Evan tanpa banyak bertanya lebih lanjut. Biasanya, ia selalu kalah dalam memberikan alasan pada Elena. Mungkin, alam semesta bersekutu untuk mendukungnya untuk acara spesial malam ini.             Evan tidak sanggup menunggu lebih lama lagi. Semakin cepat langkah yang diambil, maka semakin bagus juga hasil yang akan diperoleh. Tidak ada harapan lainnya selain rencana berjalan lancar malam ini.

1000 Camelia [part 13]

Alan duduk termenung seorang diri di pinggir jendela kamarnya. Garis bibirnya tertarik sedikit membentuk senyuman tipis. Ia tidak habis pikir dengan dirinya sendiri, tentang apa yang baru saja ia lakukan sore tadi. Bisa dikatakan agak sedikit gila.             Tapi apa yang ia lakukan adalah sesuai kata hatinya. Alan juga merasa ada suatu kekuatan lain yang mengarahkan tangan dan kakinya untuk melakukan itu. Pandangannya terarah pada bulan purnama yang bersinar terang malam itu. Entahlah, ide gilanya selalu muncul ketika mendekati bulan purnama. Mungkin ada keterkaitan antara dirinya dan sang raja malam.             Alan tidak habis pikir dengan apa yang ia rasakan beberapa minggu terakhir ini. Pikirannya dan hatinya kadang tidak sejalan. Ia tidak yakin apa yang menyebabkannya. Yang pasti, ia merasa jauh lebih baik setelah berkunjung ke rumah itu. Mungkin perasaanku akan membaik jika bertemu dengannya , pikir Alan. Segera, Alan menyingkirkan pikiran itu jauh-jauh.

1000 Camelia [Part 12]

Alan menyalahkan dirinya sendiri karena telah menolak tawaran Evan untuk mengantarnya pulang ke kostnya. Seharusnya ia menerima tawaran Evan dengan senang hati. Kini, ia kehujanan. Sialnya, ia tidak membawa payung ataupun jas hujan dalam tasnya.             Alan berlari kecil untuk mencari tempat berteduh. Tanpa ia sadari, kaki Alan terus berlari kecil yang mengarahkannya pada suatu tempat yang tidak asing baginya. Ya, Alan pernah mampir ke tempat ini sekitar empat bulan yang lalu, bersama Elena.             Entah apa yang membuat Alan otomatis kemari, dan secara otomatis juga membeli sebuket kecil Bunga Camelia bewarna putih. Bunga itu masih segar. Kelopaknya terasa sangat lembut saat disentuh. Beruntung, tak lama kemudian hujan reda dan Alan bisa segera pulang, dan menjalankan rencana yang tiba-tiba muncul di otaknya.

1000 Camelia [part 11]

3 bulan kemudian Elena sangat bersemangat hari ini. Akhirnya, hari yang dinantikannya telah datang – masa kuliah. Lebih tepatnya, kembali bersekolah. Elena sudah tidak tahan lagi berlama-lama di rumah. Pekerjaannya sebagai penulis dan fotografer freelancer belum cukup membuatnya merasa benar-benar produktif. Lagi pula, ia juga sudah tidak sabar mendapatkan teman-teman baru.             “Wih, adikku sudah gede.” Elvira tiba-tiba masuk kamar Elena ketika Elena merapikan pakainnya di depan kaca. “Sudah kuliah, ciye. ”             “Apaan sih, Vir. Berarti sudah tua dong kamu.” Kata Elena tanpa sedikit pun menoleh ke arah Elvira.             “Enak aja tua.” Gumam Elvira. “Ayo, cepet. Sudah keburu nih. Katanya kuliah jam delapan? Sekarang sudah jam 7.15.”

1000 Camelia [part 10]

Pemandangan di perpustakaan itu cukup menyakitkan bagi Evan. Alan dan Elena tampak sangat akrab. Padahal, setahu Evan, Elena tidak bisa langsung akrab dengan laki-laki. Pasti ada kecanggungan, sikap dingin, dan cuek pada awalnya – seperti yang ia lakukan pada Evan dan Joan pada awalnya.             Tidak, aku tidak boleh berpikiran aneh-aneh , kata Evan pada dirinya sendiri. Alan sudah ia beritahu mengenai perasannya pada Elena. Ia yakin seratus persen Alan tidak berusaha membuat Elena terpesona padanya. Tapi Evan tidak akan pernah melarang Elena dan Alan untuk tetap bersahabat.             Satu kalimat ternyata cukup untuk memastikan bahwa Alan sudah menyukai Sofia, sahabat Elena. Semoga satu kalimat itu membuat Elena hanya ‘melihatnya’, tidak ‘melihat’ yang lain. Mungkin ini tidak adil dan terkesan egois. Tapi ini urusan hati.             Siapa pula yang mau mengalah untuk urusan hati? Mungkin hanya satu di antara seratus ribu orang.             ***             Ala

1000 Camelia [part 09]

Depot itu terletak tidak jauh dari perpustakaan. Cukup dijangkau dengan kurang dari lima menit perjalanan kaki. Meski tidak terlalu besar, depot itu cukup terkenal di antara anak muda, terutama anak kost karena makanannya yang enak, porsi cukup besar, dan harga yang ramah kantong.             Awalnya, Alan tidak terlalu paham apa maksud Evan ‘ada yang bakal berubah setelah makan’. Yang berubah setelah makan, tentu saja perut kenyang, bukan? Itulah pemikiran Alan saat di perpustakaan. Tapi, kini ia mengerti apa maksud Evan.             Gadis yang duduk di depannya itu tampak sangat menikmati makannya. Raut wajahnya juga berubah. Alan tidak tahu apakah raut wajah yang dilihatnya di perpustakaan itu asli atau hanya pura-pura. Alan menduganya itu adalah raut wajah yang asli. Kini, setelah hampir semangkuk bakso dan segelas es degan habis dilahapnya, raut wajah gadis itu berubah – mungkin mood -nya membaik setelah makan.

1000 Camelia [part 08]

Elena bingung ketika tiba-tiba Evan mengajaknya pergi makan malam – tanpa Joan. Masakan ada masalah di antara Evan dan Joan yang tidak diketahui Elena? Entahlah. Terkadang, ada saja hal yang membuat Elena tidak memahami tingkah laku kedua sahabat laki-lakinya itu. Terkadang, laki-laki juga agak menyusahkan, dan susah dimengerti. Sejujurnya, Elena ingin sekali tahu dan menyelesaikan permasalahan itu sampai ke akarnya. Tidak peduli apakah memang benar ada masalah atau tidak, yang penting jika ada ketidakberesan menurut Elena adalah permasalahan. Namun, dengan berat hati Elena menolak ajakan Evan. Akhir-akhir ini, ia semakin sibuk dengan pekerjaan barunya sebagai penulis dan fotografer freelancer .

1000 Camelia [part 07]

Seperti yang sudah dijadwalkan sebelumnya, Elena, Sofia, Evan, Joan, dan Alan akhirnya bertemu. Seminggu setelah direncanakan tepatnya. Kali ini, sebuah restoran di mall kawasan Surabaya Barat menjadi pilihan mereka. Elena duduk berdampingan dengan Sofia. Di depannya, Evan, Alan, kemudian Joan. Beberapa menit kemudian, pesanan mereka datang. Seperti biasa, Elena sibuk membagi piring, sendok, garpu, dan makanan. Kebiasaan ini muncul karena seringnya Elena hang out bersama Evan dan Joan – Elena seolah berperan menjadi ibu dari dua laki-laki ini. “Ehm,” Joan berdeham. “Jadi, sudah saling kenal?” Joan menunjuk Sofia dan Alan secara bergantian. Pada waktu yang hampir bersamaan, Sofia dan Alan menggelengkan kepalanya. “Kenalan dulu, dong. Nggak enak kalau ada yang nggak saling kenal.”

1000 Camelia [Part 06]

Di rumah berlantai dua itu, Elena hanya tinggal bersama Elvira. Kedua orang tua mereka sibuk dengan pekerjaannya. Kebanyakan berkeliling luar kota. Tapi paling tidak, satu bulan sempat bertemu minimal dua kali.             Elena pulang dengan hati yang sangat gembira. Elvira bahkan sempat agak terkejut dengan tingkah laku adiknya yang tampak sumringah tersebut. Padahal biasanya, tiap kali pulang malam, wajah Elena sudah kusut hingga Elvira tidak mau mengajaknya bicara.             Hal pertama yang diraih Elena pada malam itu adalah buku hariannya. Kebiasaan lama yang sudah jarang ia lakukan. Hanya dalam hitungan detik, ia sudah berada di atas kasur sementara jari-jemarinya sudah menari-nari di atas buku tebal itu.

1000 Camelia [Part 05]

Pukul empat sore datang begitu cepat. Baru saja Elena akan tertidur pulas, namun alarm sudah menjerit-jerit membangunkannya. Agar tidak semakin malas, Elena memutuskan untuk segera mandi dan bersiap. Hampir tiga puluh menit lamanya Elena berada di depan lemari pakaiannya, menimbang-nimbang pakaian mana yang akan ia kenakan pada malam ini. Satu pakaian terpilih, tapi ia merasa tidak cocok. Begitu seterusnya hingga hampir semua pakaiannya keluar dari lemari. Jatuhlah pilihan pada pakaian yang sudah lama tidak ia kenakan. Tidak pernah ia kenakan mungkin. Menit-menit selanjutnya ia isi dengan persiapannya berbenah diri. Dari make-up, rambut hingga aksesori yang ia kenakan tidak luput dari perhatiannya malam ini.

1000 Camelia [part 04]

Sembari Elena memilih-milih bunga, Alan melihat gadis itu dari kejauhan sambil memotret beberapa kali. Sesekali, Alan melirik Elena yang sibuk memilih dan menawar. Cukup pintar gadis ini, pikirnya. “Sudah dapat bunga apa?” Elena terperanjat. “Astaga, Alan! Kamu ini mengagetkan saja!” “Yang benar saja, aku sudah dari tadi di sebelah kamu kok. Coba tanya sama ibunya.” Si ibu penjual hanya menertawakan mereka berdua. “Sudah dapat bunga apa aja?” “Hmm, aku jadi bingung. Sepertinya aku sudah pernah memberikan bunga ini pada Sofia. Yang ini juga sudah.” “Bunga Camellia?” Alan menunjuk bunga di dekat Elena. Elena terdiam sejenak. “Tidak, jangan Camellia.” “Bunga Crocus ada?” Tanya Alan.

1000 Camelia [part 03]

Gadis itu cukup menarik.             Alan baru saja memasuki kamar kostnya. Di kamar berukuran 4 x 5 meter itu, semua barang kesayangan Alan dari Jakarta tertata rapi. Di sanalah ia akan bertahan hidup di Surabaya selama masa kuliahnya. Atau lebih.             Kamar itu sangat mencirikan kepribadian Alan yang sangat teratur dan rapi. Tidak ada satupun barang yang berserakan. Semua tertata dengan sangat indah. Terdapat beberapa kata-kata motivasi tertempel pada dinding. Kasur dan meja diletakkan berhadapan. Di samping kasur, sebuah lemari. Hanya ada beberapa buku dalam ruang ini, dan semuanya adalah karangan orang-orang sukses             Ia meletakkan tas dan kameranya di atas meja. Di atas meja itu, juga terdapat sebuah lampu kecil, laptop, serta jam. Alan mengambil laptopnya, menyalakan laptopnya, dan memasukkan kartu memori kamera.