Tentang Jarak

Dari atas sini, malam tampak begitu indah. Kulemparkan pandanganku ke bawah. Gemerlap cahaya lampu ditemani lampu kendaraan yang membentuk garis. Bangunan-bangunan juga berlomba-lomba memancarkan cahaya yang lebih terang dibandingkan yang lainnya.

Dari atas sini, malam tampak begitu menawan. Kulayangkan mataku ke atas. Bumi diselimuti langit hitam nan kelam, dengan taburan bintang-bintang kecil. Sinarnya hanya berupa titik-titik. Bergeser ke sisi lain yang lebih tinggi, bulan tampak sangat tipis -- tidak sedang dalam fase kesempurnaannya.

Kalau kau bertanya, di mana aku sekarang, aku berada pada ketinggian 155 meter di atas permukaan air laut. Tidak, aku tidak berbohong, atau mabuk. Benar memang, aku berada pada ketinggian 155 meter di atas permukaan air laut, di atas gedung tertinggi di distrik ini. Angin malam cukup kencang, beruntung jaket yang kupilih malam ini bisa menjaga tubuhku tetap hangat.

"Datang lagi?"
Lex datang menghampiriku. Ditawarkannya minuman hangat yang dibawanya.

"Mencari ketenangan," ujarku.

"Sampai kapan, Alia?" tanyanya. "Kau membuat orang lain menghabiskan malamnya dengan mengkhawatirkan keberadaanmu."

"Jarak antara aku dan mereka yang mengaku mengkhawatirkan keberadaanku seharusnya tidak ada artinya, kalau memang hati kami saling terpaut," kataku. "Lagi pula, aku tidak meminta mereka mengkhawatirkanku."

"Menurut diagnosaku, kau sedang mengalami masalah hati."

Aku terkekeh. "Kau bahkan bukan mahasiswa kedokteran, Lex. Sudah bisa dipastikan, diagnosamu ngawur."

"Meskipun aku bukan mahasiswa kedokteran, sudah banyak orang yang berkonsultasi masalah hati padaku," ucap Lex dengan percaya diri. "Jadi, vonis yang kuberikan padamu adalah gejala patah hati."

Aku kembali tertawa, sambil memukul Lex pelan. Kini, Lex yang duduk di sampingku dapat menghambat angin malam yang tadinya menerjang tubuhku secara langsung. Tubuhnya besar, mirip seperti tubuhnya. Andai dirinya yang berada di sini, sudah kusandarkan kepalaku di atas dadanya, dan menangis, melepaskan segala emosi yang menggumpal dalam hatiku.

"Kau butuh waktu sendiri? Atau kau butuh teman?" tanya Lex, seolah-olah membaca pikiranku.

"Tidak apa-apa, Lex. Aku baik-baik saja. Atap ini milik siapapun, aku tidak mengusirmu."

"Apa yang ada dipikiranmu? Jujur saja."

"Jarak," jawabku singkat.

"Ada apa dengan jarak? Kau juga membuatku memikirkan tentang jarak beberapa hari ini."

"Entah kau sadari atau tidak, Lex. Jarak itu aneh. Ketika kamu jauh, pemandangan yang dihasilkan begitu indah, tapi perasaan sakit menyiksamu. Sebaliknya, ketika kamu dekat, pemandangannya belum tentu indah, tapi ada sensasi menyenangkan yang membungkus hatimu."

"Jika yang kau bicarakan adalah tentang pemandangan, aku setuju."

"Masalahnya, saat ini perasaanku juga ikut aneh. Perasaanku tak pernah pasti, selalu abstrak. Tapi aku sedang menikmati sesuatu yang dari jauh. Sebab, dari jauh, seperti dari tempat ini, semuanya tampak indah."

"Alia," panggil Lex. "Boleh aku memelukmu? Sepertinya kamu membutuhkan itu."

Kujatuhkan diriku dalam pelukan Lex. Hangat, seperti yang kubayangkan. Kepalaku berada persis di bawah kepalanya, dan kedua tangannya menangkup kedua telapak tanganku. Aku merasa sangat emosional hingga tanpa kusadari, air mata telah berada di pelupuk mata, siap meluncur membasahi segala yang dilaluinya. Segala kekesalan, kekecewaan, kerinduan dan momen manis tentang dirinya bercampur aduk menjadi satu dalam hatiku saat ini. Aku tahu aku masih mencintainya, tapi hatiku terlalu rapuh untuk memulai lagi.

"Dari jarak, kamu akan belajar untuk lebih menghargai apa yang kamu genggam saat ini, percayalah," bisik Lex. "Aku sudah mengalaminya."

[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zebra Cross.

Surya dan Mentari

Oasis