Kilat di Ujung
Sebuah tatapan terarah padaku dengan begitu tajam. Aku mengenal tatapan itu, bisik hatiku.
Pemilik tatapan itu – seorang pemuda – masih berdiri di ujung jalan.
Perawakannya tinggi besar, dengan rambut gaya terkini – entah aku tak tahu apa nama
jenis rambut tersebut – dan pakaiannya juga menunjukkan bahwa kini ia bertumbuh
kian dewasa dengan pakaiannya yang tampak formal. Lepas dari semuanya, ada
suatu hal yang membuatku tak asing – tatapannya. Sebuah tatapan yang membawaku
bernostalgia pada kejadian tujuh tahun lalu.
***
“Iya,
kamu!” bentak seorang kakak kelas. Wajahnya begitu garang, membuatku ketakutan.
Merasa tak dipanggil, aku menoleh ke sisi kanan dan kiriku, mencari-cari
siapakah yang dimaksudkan oleh kakak senior ini.
“Hei,
kamu! Yang lagi nolah-noleh itu!”
Astaga, benarkah diriku yang dimaksudnya? Kutunjuk diriku sendiri dengan jari
telunjuk kananku. “Iya, kamu! Nggak usah nolah-noleh
terus kamu!”
Reflek,
merasa tidak aman, aku menatap wajahnya dengan akomodasi maksimum alias melotot.
Tidak ada maksud lain selain penasaran mengapa aku disebut berkali-kali, ketika
suasana sangat hening. Belasan pasang mata bahkan menjadikan diriku fokus
perhatian mereka sekarang.
“Heh!
Beraninya kamu! Sudah ramai sendiri, ditegur malah melototin! Berdiri kamu! Ke sini, bawa buku catatannya!”
Apa
katanya? Ramai sendiri? Yang ada, dia yang ramai sendiri dengan seorang teman
perempuannya, asyik cekikikan dibalik map hitam yang dibawanya ke mana-mana.
Sedangkan aku, hanya menawarkan tisu yang dibutuhkan oleh seorang teman yang
duduk beberapa meter di belakangku. Sungguh, tidak adil. Aku benci posisi ini,
posisi di mana senioritas adalah hal yang sangat utama.
Dengan
enggan, aku melangkahkan kaki menuju ke pada dia, menyerahkan buku catatanku. Aroma
parfumnya begitu kuat, seolah menghipnotisku untuk segera menyerahkan buku
catatanku padanya. Buku bersampulkan biru gelap tersebut memang sangat penting
untuk mencatat. Mencatat informasi penting, mencatat kontak teman, hingga
mencatat berjibun pelanggaran yang diada-ada.
Ia
menulis dengan cepat di atas selembar catatanku. Jelas, tulisannya begitu kacau
dan jelas ia menulis dengan penuh penekanan. Sembari menulis, kurasakan
sesekali ia melirikku dengan tatapan tajamnya. Usai menulis pelanggaranku yang
diada-ada olehnya, ia membubuhkan tanda tangan yang tidak kalah tebal dengan
catatan pelanggaran, lalu menyerahkan bukuku dengan agak kasar. Sekali lagi,
dengan agak kasar – dengan nada yang membentak, ia menyuruhku untuk kembali
duduk berbaris.
Terima
kasih padanya, yang telah menambahkan catatan ‘kriminal’ di awal masa orientasi
ini, yang telah membubuhkan sebuah tanda tangan kemenangan dengan penuh
kebanggaan, serta membuatku menerima hadiah tatapan mata serta rasa malu ketika
aku kembali pada barisanku.
Sial,
kenapa harus bertemu dengan senior seperti ini!
***
Dua
hari baru saja berlalu sejak buku catatanku terjamah oleh orang yang tampak
sangat tidak bersahabat. Namun, sekarang aku bertemu dengannya lagi. Tak lagi
bersama teman perempuannya yang waktu itu, tapi bersama tiga orang teman
lelakinya. Seperti dua hari yang lalu, tatapannya begitu tajam, seolah matanya
mampu bersinar di tengah kegelapan malam.
Beruntung,
aku tak sendiri. Seorang sobat karibku berjalan sambil terus bercerita di
sampingku. Meski aku sudah lelah mendengarkan berbagai curhatannya tentang stok
laki-laki tampan, kurasa lebih baik aku berpura-pura menikmatinya dari pada
harus bertatap mata dalam radius yang lebih dekat. Kupaksakan diriku untuk
menikmati perbincangan itu. Tertawa mengikuti alur cerita yang agak
membingungkan dan…
BUK
Tanpa
sengaja tubuhku menabrak sesuatu yang lebih besar. Sepertinya, tubuh manusia
juga, yang berukuran lebih besar dan lebih padat dibandingkan tubuhku. Aku
berasumsi yang kutabrak adalah tubuh salah satu dari tiga lelaki yang berdiri
di ujung sana – tidak mungkin aku menabrak tubuh kakak senior yang satu itu. Sangat tidak mungkin.
Namun,
sepertinya Dewi Fortuna sedang tidak berpihak padaku. Ketika aku mulai menjauh
untuk melihat tubuh siapa yang kutabrak, kurasakan kejutan listrik mengaliri
seluruh tubuhku.
Kakak
senior yang satu itu, ternyata. Bukan
temannya. Bukan salah satu dari tiga laki-laki itu. Sial, kenapa aku harus
kembali berurusan dengannya!
“Cepat
pulang, gih. Sudah malam, nanti kamu dicari
mamamu,” katanya. Nada suaranya berbeda – bukan merupakan sebuah perintah atau
bentakan. Namun lebih kearah persahabatan atau… meremehkan? Kurasa opsi pertama
lebih baik dari pada menimbulkan perasaan benci lainnya.
Entah
mengapa, opsi pertama yang kupilih tersebut justru membangkitkan percikan aneh
yang membuat sekujur tubuhku merinding. Jatungku juga berdegup dengan tempo
yang sedikit lebih cepat. Aneh. Tidak,
aku tidak boleh merasa seperti ini dengan orang itu! jeritku dalam hati.
***
Puluhan
pertemuan dengannya tujuh tahun yang lalu bermunculan di otakku bak film yang
diputar dengan mode rewind. Sekian
kejadian tersebut seolah masih hangat dipikiranku. Aku mengingat detail
kejadiannya, detail suasananya, detail ekspresi wajahnya, dan tak lupa detail
perasaanku saat itu. Perasaan amarah yang berakhir pada rasa gemetaran bak
seorang perempuan jatuh cinta. Mungkin itu yang disebut orang-orang sebagai
‘benci jadi cinta’.
Gerakan
pemuda itu secara tiba-tiba membuyarkan film
throwback kejadian tujuh tahun lalu. Cara jalannya masih sama seperti dulu.
Ekspresi wajahnya saat berjalan masih sama seperti dulu 0 tegas tanpa
segorespun senyuman. Caranya memegang sebuah map di tangan kirinya masih sama.
“Hai,”
sapanya.
Saking
asyiknya menganalisis dirinya, aku sampai tak menyadari gerakannya tersebut
menuju ke padaku. Aku menoleh sekitarku, mungkin ia sedang memanggil orang
lainnya, mengingat banyak orang yang berlalu-lalang disekitarku.
“Iya,
kamu. Nggak usah nolah-noleh lagi,” katanya dengan nada suara yang jauh lebih
bersahabat dibandingkan tujuh tahun yang lalu. “Kamu junior yang kutegur tujuh
tahun lalu, ‘kan?”
Seolah
sebuah kilat dari ujung tempatnya berdiri menyambarku pada saat itu, pada siang
hari yang cerah.
ps: Cerita ini murni inspirasi dari seorang kawan dikombinasi dengan imajinasi penulis.
ps: Cerita ini murni inspirasi dari seorang kawan dikombinasi dengan imajinasi penulis.
Komentar
Posting Komentar