Aura
Gadis
itu berdiri dengan tegap menghadap Sang Surya yang hendak beristirahat. Semburat
langit oranye kekuningan menjadi latar belakang yang sempura baginya. Rambutnya
yang warna coklat tampak keemasan dengan siraman sinar sore. Dari belakang pun
tampak jelas, bahwa sekujur tubuh gadis itu kaku.
Tak ada senyum yang menghiasi wajahnya. Bibirnya
terkatup rapat dengan tegang. Tatapan matanya sangat jauh, entah melayang ke mana. Kedua
telapak tangannya tergenggam dengan kuat di samping tubuhnya. Ia tak berusaha
untuk mengatasi angin yang terus meniupi dirinya, mengacaukan rambutnya,
mengibarkan ujung-ujung pakaiannya. Ia biarkan dirinya dimiliki oleh alam untuk
saat itu.
Hatinya rapuh sudah. Hanya satu sentuhan saja,
hancurlah jadi berkeping-keping. Ia tak peduli lagi. Biarlah hatinya hancur,
yang penting ada pancaran kebahagiaan dari orang lain. Toh, hati yang sudah
retak ini pun tak mampu dibenahi, bukan? Sekalian
saja, hancurkan saja! Bentak gadis itu dalam hatinya.
Lenyap sudah aura sukacita yang ada dalam dirinya.
Runtuh sudah segala pertahanan dirinya. Ia merasa kuat selama ini, tapi kini ia
sadar ia tak sekuat itu. Perlahan, air mata mulai mengalir dari pelupuk
matanya. Sekuat tenaga ia berusaha untuk menghapusnya, namun lagi-lagi air mata
kembali turun membasahi pipinya. Ia berupaya untuk menghibur diri dengan nyanyian
alam. Nyanyian alam biasanya menyejukkan hati, tapi kini nyanyian alam justru
kian menghancurkan hatinya.
Hilang
sudah aura keindahan itu.
Komentar
Posting Komentar