Ke mana?

Surya membangunkannya pagi itu. Matanya yang terpejam tergugah untuk segera terbuka, menyambut pancaran sinar yang masuk menembus lewat jendela kamarnya. Malam telah berlalu, namun rasa gundah itu masih belum berlalu dari hatinya. Rasa kalut masih menyelimuti hatinya. Matanya tergoda untuk sekali lagi terpejam, mengenang perasaannya semalam.

                Ia duduk merenung menatap objek langit di malam hari yang begitu cantik berbentuk bulat sempurna. Buku terbuka di atas mejanya, semua peralatan tulis sudah siap digunakan, dan lampu meja telah dinyalakannya sedari tadi. Namun, tidak ada tindakan yang dilakukannya selain bertopang dagu sambil memandang kecantikan rembulan. Ya, rembulan membangkitkan sisi melankolinya.
                Ke mana dia? Ia bertanya-tanya dalam hatinya. Pikirannya begitu kacau, banyak hal yang dipikirkannya. Bertubi keputusan harus segera ia ambil. Kejenuhan menyiksa otak serta batinnya. Sungguh, ia membutuhkan pencerahan. Ke mana dia ketika aku butuh pencerahan dari dirinya? Ia hilang, hilang tanpa kabar! Gerutunya dalam hati. Sungguh disesalkan, ia sungguh butuh dirinya.

                Cukup, pikirnya dalam hati. Cukup sudah ia memikirkan segala halnya seorang diri, mengambil segala keputusannya seorang diri, seperti dulu. Bibirnya menyunggingkan senyum miring menunjukkan kesinisannya. Tak ada bedanya dulu dan sekarang.
                Tanpa berpikir lama, segera ia berkemas, siap melakukan aktivitas di hari yang baru.

***

                Entah sejak kapan tubuhnya melemah. Rentetan aktivitas menyita kualitas kesehatannya, melemahkan metabolisme tubuhnya. Padahal, saat-saat ini sungguh ia membutuhkan tenaga ekstra untuk menuntaskan segala aktivitasnya.
                Di mana? Lagi-lagi ia bertanya. Mana dia? Dia tidak munculkan? Ia terus menunggunya. Terus, dan terus menunggu tanpa henti. Padahal, seharian orang itu menampakkan batang hidung di hadapannya. Kini, ketika ia butuh donor semangat serta kekuatan, di manakah dia?
                Detik demi detik berlalu. Menit demi menit berlalu. Jam demi jam berlalu. Satu menit rasanya seperti sepuluh menit. Satu jam terasa seperti satu hari. Kini ia sadar, diam-diam ia suka menantikan kabar seseorang tanpa ada kejelasan.
                Rasa sakit kian melemahkan kondisi tubuhnya. Ujungnya, ia memaksakan dirinya. Ya, aku harus kuat dan aku tidak boleh menunggu di sini hanya berdiam seribu bahasa, katanya pada dirinya sendiri.
                Mulailah ia melangkahkan kakinya. Lambat namun pasti, pada suatu pertanyaan yang masih sama: Di manakah dia ketika aku membutuhkannya? Mana? Mana?!
                Mungkin tanda tanya mengajarkanku untuk bersabar dan tetap tenang.  

[]

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zebra Cross.

Surya dan Mentari

Oasis