On that Saturday Night [part 4]
Jumat pagi telah datang. Dua minggu sudah semenjak aku berusaha menjaga jarak dari Nathan. Tampaknya ia memahami betul perasaanku, entah mendapatkan informasi dari mana. Tidak sekalipun ia berusaha menghubungiku. Di sekolah pun, ia hanya mengajakku bicara seperlunya – sebisa mungkin tidak ada komunikasi di antara kami.
Aku
merasa lebih tenang, sekaligus merasa ada sesuatu yang hilang dari hidupku. Setidaknya, aku tidak terlalu
memikirkan kehidupan pribadiku seminggu terakhir ini. Ditambah lagi, aku
mendapatkan kesibukan baru di organisasi sekolah.
“Sudah
kau selesaikan proposalnya, Abigail?”
“Sudah,
Lea. Hari ini akan kuberikan padamu.”
Aku
tersenyum ke arah Lea yang meninggalkan ruang pertemuan. Kurapikan tumpukan
kertas yang berserakan di atas meja, kemudian membuka pintu ruang pertemuan.
Sesosok
laki-laki tinggi berdiri di hadapanku. Entah mengapa, terdengar suara pukulan
keras dari dalam hatiku, dan jantungku berdetak dua kali lebih cepat.
“Abigail,
ini sudah dua pekan semenjak kau menghindariku. Sekarang sudah saatnya
berbicara lagi.” Kata Nathan dengan ketenangan. Aku tetap menunduk, tidak mampu
melihat wajahnya. “Besok malam, aku akan ke rumahmu pukul enam tepat. Banyak
hal yang harus kita bicarakan.”
Aku
tetap diam seribu bahasa. Namun, dapat kurasakan, ia melangkah pergi dariku,
dan membawa sebagian hatiku dengannya.
***
Sabtu
sore. Pukul empat lebih tiga puluh menit. Aku masih belum memutuskan akankah
aku pergi bersama Nathan atau tidak. Aku membayangkan betapa canggungnya malam
nanti. Tapi, jika aku tidak pergi, aku takut hubungan baik persahabatanku
dengannya akan hancur seketika.
Aku
menghembuskan napas dengan kuat. Aku mengesampingkan semua egoku, dan membuang
segala pikiran buruk.
Kuputuskan
untuk pergi dengan Nathan.
***
Aku tidak tahu
apakah pakaianku terlalu berlebihan atau tidak, tapi entah mengapa mataku
langsung tertuju pada gaun biru selutut yang tidak pernah kukenakan lagi. Rambutku
kubiarkan terurai seperti di sekolah biasanya. Sepasang flatshoes menemani langkahku.
Sesuai
janjinya, tepat pukul enam mobilnya berada di depan rumahku. Tanpa perlu
menunggu lagi, aku masuk dalam mobilnya. Dengan penuh kesunyian, kami menembus
ramainya lalu lintas menuju ke tempat yang sama sekali tidak kuketahui.
***
Tampaknya ia
sudah memersiapkan malam ini beberapa hari sebelumnya. Baru saja masuk dalam
restoran mewah itu, seorang pelayan sudah mengarahkan kami pada sebuah meja
kosong yang berada tepat di tengah ruangan.
Setangkai
mawar merah dan dua buah lilin kecil terdapat di meja kami. Benar apa yang telah kupikirkan sebelumnya, kurasakan
kecanggungan yang luar biasa. Kebanyakan yang datang di restoran ini adalah
sepasang kekasih. Sedangkan kami…
“Abigail,”
panggil Nathan dengan nada suara yang sama ketika ia memanggilku kemarin.
Tatapannya sangat serius, belum pernah ia menatapku seperti itu sebelumnya.
Namun, aku kembali teringat pada pemilik tatapan serius seperti itu: Adrian.
Aku menarik
bibirku agar tersenyum seperti biasa. Semoga saja tidak tampak canggung. “Ya,
Nathan?” Aku berusaha menenangkan diriku dengan sebuah tarikan napas dalam. “Ehm,
kalau boleh aku tahu, ada acara apa ini? Maksudku, kenapa hanya berdua, eh dan
ini terlalu mewah lalu–“
“Abigail,” panggil
Nathan lagi. “Aku senang kau tidak menghindariku lagi. Dua minggu yang aneh
bagiku. Tapi aku dapat memahami itu.”
“Aku meminta
maaf sebelumnya karena aku telah bersikap seperti itu.”
“Tidak,
seharusnya aku yang meminta maaf.” Nathan berdeham. “Seharusnya aku mengaku
dari awal.”
“Aku tidak
mengerti apa maksudmu.”
“Nathan sangat
mirip dengan Adrian ‘kan, Abigail?” serasa ada sebuah tombak yang sangat
runcing menghujam jantungku. “Kau mungkin bertanya-tanya dalam hati, bagaimana
bisa aku tahu tentang Adrian.”
“Jangan
ingatkan aku tentang masa laluku. Aku tidak ingin mendengar namanya lagi.”
Suaraku terdengar agak gemetar, sekaligus dingin.
“Kau adalah
seorang gadis yang pintar, Abigail. Kau berusaha menutupi perasaan yang sudah
ada sejak semula. Kau berusaha membuang jauh hal benar yang telah kau sadari.”
Kata Nathan. “Nathan yang ada di depanmu saat ini adalah Adrian, Abbey.”
“Apa?!”
“Ya, aku
adalah Adrian. Adrian yang suka melukis. Adrian yang memanggil Abigail Kimberly
dengan Abbey. Adrian yang meninggalkan Abigail.” Terdengar nada penyesalan yang
mendalam dari kalimat terakhir yang ia ucapkan.
“Aku masih
tidak mengerti apa maksud dari semuanya ini.”
“Maafkan aku,
Abbey. Dulu, kelurgaku mengalami masalah yang berat. Aku harus pindah ke luar
negeri. Aku kehilangan semua akses untuk menghubungi teman-temanku. Ketika
semua itu mulai reda, kuputuskan untuk kembali ke kota ini. Sengaja memang
kuubah namaku, untuk menjadi seorang yang baru. Aku ingin memulai segalanya
dari nol lagi.”
Aku hanya
mengangguk pelan, tak tahu harus berkata apa lagi. Semuanya tampak lebih
jernih. Serasa ada beban yang lepas dari pundakku. Akhirnya. Ya, akhirnya.
“Jadi, Abbey,
maukah kau memaafkanku?”
“Aku tidak tahu harus memanggilmu Nathan atau
Adrian.” Aku tersenyum kecil. “Tapi, ya, aku memaafkanmu.”
“Adrian sudah
tidak ada. Hanya ada Nathan dihadapanmu, Abbey.” []
Komentar
Posting Komentar