1000 Camelia [part 01]
Awan tipis
menggantung menghiasi langit Kota Surabaya. Cuaca terik yang diimbangi dengan
tiupan angin cukup mengimbangi suasana kota siang itu.
Tak seperti warga kota Surabaya
umunya, Elena Talia menikmati siang itu di jalanan yang dipadati kendaraan
bermotor. Tidak, ia tidak menggunakan kendaraan bermotor. Ia berjalan seorang
diri. Sepasang earphone tertancap
pada telinganya. Sebuah ransel kecil menempel pada punggungnya, dan sebuah
kamera menggantung pada lehernya.
Bak seorang turis, Elena mengambil
gambar berbagai sudut Kota Surabaya. Kebanyakan adalah potret dari taman kota
dan jalanan. Ia bukanlah street
photographer, tapi ia sering kali meluangkan waktunya menjelajahi berbagai
sudut kota metropolitan ini.
Di hari libur kelulusan ini, semakin
banyak taman kota disambangi Elena. Saking senangnya berkunjung ke berbagai
taman, ia sampai membuat jadwal kunjungannya. Kali ini, ia memutuskan untuk singgah
di Skatepark.
Begitu memasuki area Skatepark,
matanya tertuju pada seorang pemuda yang duduk di bawah pohon. Laptop berada di
pangkuannya, kamera dan tas di sebelahnya. Pemuda itu asyik sendiri dengan
“dunianya”. Tak lama kemudian, pemuda itu mengembalikan masukkan kartu memori
pada kameranya.
Merasa diperhatikan, pemuda itu
melihat ke arah Elena. Merasa telah salah fokus, Elena jalan lebih jauh ke arah
selatan, dan mengambil beberapa gambar melalui kameranya sebelum ia memutuskan
untuk duduk di bawah salah satu pohon yang cukup rindang kemudian menikmati
bukunya.
***
Seharian menjelajah di taman kota, Elena
kembali ke tempat favoritnya di dunia – kamarnya. Seperti biasa, seusai makan
malam, ia selalu memeriksa hasil jepretannya, dipilihnya yang cukup bagus untuk
diunggah ke Instagram dan blog-nya.
Baru saja ia menyalakan laptopnya,
ponselnya sudah bergetar-getar. “Astaga, chats
ini banyak sekali.” Keluh Elena. Sebagian besar berisi chats dari dua sahabat karibnya – Evan dan Joan. Malas untuk
membaca satu per satu perbincanganm, Elena memutuskan untuk melakukan group call. Kurang dari tiga menit, group call pun dimulai.
“Len, kamu dari mana aja sih? Kok
di-chat nggak balas?” semprot Joan
langsung.
“Biasa, keliling taman ya, Len?” kata
Evan sebelum Elena sempat menjawab Joan.
“Sabar sedikit, Van, Jo.” Kata
Elena. “Iya, memang, tadi aku seharian keliling taman lagi. Asyik banget. Lain
kali, kalian harus ikut. Titik!”
“Wih, kejam banget kak,” goda Joan.
“Aku takut! Evan, tolong aku dong!”
“Ah, Jo, nggak usah seperti itu,
geli banget.” Kata Evan.
“Guys,
memangnya kalian ngobrol tentang apa sih tadi?” Tanya Elena mengalihkan topik
pembicaraan. “Panjang banget, lho!”
“Udah, dibaca aja, Len.” Kata Joan
sambil cekikikan.
“Selamat menikmati, Elena Talia.”
Kata Evan.
“Ah, sudahlah, guys. Elena capek, masih banyak kerjaan. Bye, guys!”
***
Jumat pagi datang begitu cepat. Kembali
Lena menjelajah Kota Surabaya. Kali ini, ia memutuskan untuk mengikuti tur dari
House of Sampoerna. Beruntung sekali, saat itu ia bersamaan dengan rombongan
turis dari Taiwan. Dalam sehari saja, ia sudah mendapatkan lima kenalan baru
dari Taiwan.
Ketika Elena menoleh ke sisi
kanannya, ia agak kaget. Kalau tidak salah ingat, pemuda yang duduk sendirian
dengan sepasang headset di telinga
itu adalah pemuda yang ia lihat kemarin di Skatepark. Penampilannya tak jauh
berbeda dari kemarin – kaos polos dalam kemeja dengan kancing terbuka, celana
jins panjang, sepasang sneakers, dan
rambut acak-acakan.
Kembali Elena menatap lama pemuda
itu hingga pemuda itu merasa menjadi objek pengamatan. Belum sempat Elena
memalingkan kepalanya, pemuda itu sudah melemparkan senyuman tipis ke arah Elena.
“For
all tourists, please sit down. We’ll start our tour soon.” Kata seorang
pemandu melalui pengeras suara, menandai perjalanan keliling Kota Surabaya akan
segera dimulai.
***
“Apa Jo? Besok malam?”
Baru saja Elena masuk dalam rumahnya
setelah seharian menikmati tur keliling Surabaya.
“Iya, Len, besok. Bisa ‘kan? Aku
jemput deh.”
“Evan ikut juga ‘kan?”
“Iya dong, Len.” Kata Joan. “Tadi
Evan udah aku ajak. Kamu seharian nggak bisa ditelepon lagi. Di chat juga nggak balas.”
“Tadi aku keliling kota, Jo. Asyik
banget. Ketemu sama orang-orang Taiwan. Cantik-cantik lho. Harusnya kamu ikut.”
“Wah kamu nggak ajak aku. Kecewa
banget, Len.” Elena tertawa puas diujung telepon mendengar sahabatnya yang satu
ini. Joan berulang kali minta dikenalkan pada teman perempuan Elena, tapi Elena
tidak kunjung mengenalkannya. “Ya sudah deh. Besok jangan lupa dan jangan telat
ya, nona sibuk. Jam enam sore aku dan Evan jemput kamu.”
“Iya deh, iya. Biasa aja deh
ngomongnya, mblo!”
***
Komentar
Posting Komentar