Keping Emosi

Yang kedua.

---

Musim gugur 2006.

Kamis tak pernah menjadi hari yang sibuk. Namun, di hari ini, lautan manusia menguasai halte mungil di depan gedung perkantoran dengan sembian lantai ini. Mentari yang menyilaukan semakin menuju ke barat. Mereka yang menanti, memicingkan mata menantang mentari, demi melihat secara langsung kedatangan bus.

Seorang perempuan yang baru keluar dari gedung perkantoran tersebut mendesah. Seharusnya dia mengikuti kata hatinya untuk mengambil jam lembur. Namun, fisiknya memberontak dan memaksa dia untuk pulang. Badannya belum pulih betul akibat penerbangan jarak panjang yang ditempuhnya kemarin. Sekarang, inilah akibatnya. Lebih baik kerja lembur tanpa mendapatkan bonus daripada harus berdiri berdesakan dengan orang-orang yang berkeringat ini, pikirnya.

Setelah menanti sekitar dua pulub tiga menit, bus yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Mendadak, lautan manusia yang telah lesu, serempak menjadi semangat. Sama semangatnya ketika mendapatkan jackpot dalam undian. Semuanya berdesakan menaiki bus, hingga mendapat teguran dari kondektur dan supir bus agar mereka dapat antri dan bergantian.

Halte selanjutnya berjarak sekitar delapan kilometer. Sekitar empat orang turun di halte ini, berjalan menuju suakanya masing-masing. Termasuk perempuan itu. Dengan langkah kaki yang berat, dia menggendong tasnya di punggung, dengan tangan kiri dipenuhi berkas-berkas yang belum terselesaikan dan tangan kanan memegang tas kecil.

Rumah kecil itu berjarak sekitar 500 meter dari halte - di sanalah tempatnya tinggal seorang diri. Kakinya terasa semakin berat ketika dia menaiki undak-undakan di depan rumahnya. Dengan setengah tenaga, dia merogoh kunci rumahnya. Sial. Di mana lagi kunci itu. Apakah aku sudah mengambilnya dari atas meja kantor? 

"Hai, Olivia. Kau sudah pulang? Bisakah kau memeriksa kunci di atas mejaku? Tidak ada? Oh, tidak. Di mana aku meletakannya. Sudah, tidak apa-apa. Tidak perlu panik, aku akan mengatasinya."

---

"Ah, ternyata ini kunci Elena. Tapi, bagaimana aku mengantarkannya? Aku harus menemani Paul hari ini," gumam Olivia yang masih sibuk di depan meja kerja Elena.

"Kenapa, Olivia? Ada yang bisa kubantu?" Dave tiba-tiba muncul.

"Nah, Dave, aku sangat butuh bantuanmu sekarang. Apakah kau bisa mengantarkan kunci ini untuk Elena?" tanya Olivia. "Aku tidak bisa mengantarkannya, dan aku tidak mungkin meminta dia kembali ke mari sementara dia tidak dalam kondisi sehat."

"Apakah ini bagian dari orientasi pekerja baru di kantor ini?" gurau Dave.

Olivia tertawa. "Ini terlalu mudah, Dave. Besok kau akan kuberikan orientasi pekerja baru dengan level yang lebih tinggi."

"Jangan terlalu jahat, lady boss," kata Dave. Meskipun Dave pekerja baru, dia adalah kakak tingkat Olivia semasa SMA. "Berikan alamatnya dan segera kabari Elena. Aku segera ke sana"

---

Jadi, ini rumahnya. Kompleks perumahan kecil ini terkenal karena memiliki gaya arsitektur yang sederhana namun chic.

Dave menyusuri jalan dengan sepedanya. Sesuai instruksi lady boss Olivia, seharusnya kunci ini di antarkan ke rumah nomor tiga dari ujung. Apakah gadis yang tertidur di antara tumpukan barangnya itu Elena? Dave tidak dapat mengingat seluruh kantor dalam hari ketiganya bekerja. Sepanjang ingatannya pula, dia belum pernah berinteraksi secara langsung dengan sosok bernama Elena ini.

"Selamat sore, Miss," Dave menepuk pundak Elena beberapa kali dengan penuh hati-hati. Beberapa kali dia menggoyangkan tubuhnya, namun tak terbangun. Sepertinya dia sangat lelah, sampai aku tidak bisa membangunkannya. 

Setelah berpikir panjang, Dave memutuskan untuk membuka rumah itu sendiri. Toh, dia tak memiliki niatan jahat sedikitpun. Begitu membuka pintu rumah, terdapat tiga buah sofa warna cokelat gelap yang disusun bentuk C. Di depan sofa tersebut, terdapat meja terbuat dari kaca. Sementara itu, di sisi kiri terdapat sebuah ruang dengan pintu tertutup, di sebelah ruang tersebut terdapat pantry dengan bar dan TV. Di belakang sofa tersebut, terdapat meja lengkap dengan empat kursi di setiap sisi. Bagian belakang rumah terdapat taman dengan dua kursi malas. Semuanya tertata dengan rapi.

"Maafkan aku, Miss Elena. Aku sudah berupaya membangunkanmu," dengan berhati-hati, Dave mengangkat tubuh Elena, dan membaringkannya di atas sofa terpanjang. Segera, barang-barang Elena dimasukannya. Dikuncilah pintu rumah itu, dan Dave melemparkan kunci tersebut melalui jendela.

Ya, ini mungkin bagian orientasi pekerja baru yang sengaja dirancang dengan mulus oleh senior-seniornya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zebra Cross.

Surya dan Mentari

Oasis