Keping Emosi

Yang Pertama.

---

Laptop beradu dengan buku tebal di atas sebuah meja bundar. Di sampingnya, terdapat secangkir Matcha Latte dan secangkir Jasmine Tea dengan uap yang mengepul. Lagi, baru saja meluncur dari dapur, sepotong croissant diapit garpu dan pisau.

Senja telah menjemput. Alunan musik yang diputar lembut, menembus suara percakapan yang samar-samar. Di dalam lounge tersebut, terdapat bar serta enam buah meja bundar dengar diameter tujuh puluh lima sentimeter. Kini, hanya ada seorang di bar yang sibuk dengan ponselnya, seorang menempati sebuah meja bundar, dan sepasang kawan karib menguasai meja di ujung ruangan.

Olivia menarik bukunya hingga hampir menutupi seluruh wajahnya. Di sana, dia mengintip Elena, yang sedari tadi sibuk mengetik sesuatu dengan laptopnya. Sebagai seorang yang melankolis, Olivia sadar betul, ada sesuatu yang bermasalah dengan sahabatnya. Ya, hari ini Elena mengetik dengan tekanan yang sangat besar kepada keyboard laptopnya.

Detik demi detik berlalu menjadi menit dan jam. Ada apa dengan Elena? Sepertinya selama bekerja segala sesuatu berjalan dengan baik. Setidaknya, bos tidak marah dan klien tidak komplain. Bahkan, seharusnya hari ini - Jumat - hari terakhir bekerja di pekan ini - seharusnya dia lebih bersemangat. Olivia terus berdialog dengan dirinya sendiri. Lembaran buku dia balik beberapa kali tanpa dia paham isi dari deretan huruf yang berjajar.

Setelah hampir dua jam terjebak dalam kesunyian dan kecanggungan ini, Elena tak tahan lagi. Dia terus menatap mata temannya itu dengan gusar. Kenapa sekarang bola matanya terus berputar, seolah mencari jalan keluar? Sepertinya Elena sudah melupakan kehadiran Olivia. Bahkan, matanya terus memantau gerak gerik serta mikro ekspresi Elena, memastikan segala sesuatu aman terkendali.

"Jadi, apa yang ada dipikiranmu sekarang? Apa yang kau cari?" tanya Olivia, setelah tak lagi mampu membedung rasa penasarannya.

"Kepingan emosi."

"Apakah Matcha Latte-mu membuatmu berhalusinasi?" Olivia menyambar pipi Elena, menepuknya beberapa kali. "Tapi sepertinya aku belum melihat kau menyeruputnya sama sekali sejak dia mendarat di sini."

"Tidak, tidak, Olivia. Aku baik-baik saja. Kesadaranku tidak hanya seratus persen, tapi sampai seribu persen."


"Aku kurang percaya," ucap Olivia. "Lagi  pula, tidak ada pencuri yang akan mengaku sebagai pencuri."

"Percayalah, aku hanya mencari kepingan-kepingan emosi yang pernah bertaut menjadi satu itu."

"Ah, kau selalu memiliki selera kata yang sangat tinggi sampai aku tidak memahami apa maksudmu."

"Kau belum merasakannya saja, Olivia."

"Baiklah, supaya aku bisa merasakannya, izinkanku membantumu mencarinya, El." kini Olivia merasa dirinya telah sedikit tertular halusinasi yang diidap Elena. "Jadi, di maa kepingan-kepingan itu?"

Setelah sekian lama, akhirnya mata Elena bertemu dengan Olivia. "Entahlah, Olivia. Mungkin kepingan emosi itu sudah larut dalam ilusi, tanpa ada saksi yang sempat mengamati perginya," gumam Elena. "Persis sama seperti dia, yang mendadak alergi dengan setiap inci fisiologi tubuhku,"

"Sebentar, apakah kau bicara tentang dia?"

"Dia bisa merujuk ke banyak orang, Olivia," garis bibir Elena tertarik, membentuk simpul singkat. "Jangan menjadikan seseorang sebagai tersangka tanpa bukti."

"Ah, Elena Sayang, siapa dalang di balik kegundahanmu ini sudah jelas."

Elena sebenarnya tahu, siapa yang dimaksud Olivia sebagai dalang. Sudah sangat jelas.

"Elena, jawablah aku dengan jujur. Sampai kapan kau akan menyiksa dirimu seperti ini? Sampai kapan mengacaukan hidupmu dengan terus menulis kisah sendu?"

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zebra Cross.

Surya dan Mentari

Oasis