Dermaga

Di tengah keramaian malam, hanya dia yang menjadi pusat perhatianku. Orang-orang berlalu-lalang. Ada yang sendirian, ada yang bersama pasangan atau keluarga. Ada yang pergi dengan tangan kosong, ada pula yang pergi dengan tas ransel, karton di pundak, bahkan kendaraan atau hewan peliharaan. Demikian pula dengan mereka yang datang.

Semilir angin malam mengusap paras indahnya dengan lembut, membelai rambutnya dengan butiran air laut. Tampaknya, hari ini surya belum lelah tersenyum. Dipaksanya rembulan untuk juga tersenyum bahagia, sebahagia diriku. Sinarnya atas kapal-kapal yang bersandar amat terang, lebih dari biasanya.

"Kau cantik," ucapku. 

"Terima kasih." Berkat kebahagiaan surya dan rembulan, aku dapat melihat senyum tipis khas miliknya dengan jelas. Lesung pipi mempermanis wajahnya.

"Bagaimana kabarmu?" tanyaku.

"Baik, seperti biasanya," jawabnya. "Kau sendiri?"

"Biasanya tidak baik. Tapi hari ini luar biasa." Akhirnya, kini dia mau menatap mataku. Dia masih seperti dulu, yang mudah tergelitik oleh jawaban ambigu yang sering kulontarkan. 

"Mengapa bisa begitu?"

"Kamu," tegasku. "Setelah 1.271 hari tak bertemu denganmu, juga tak mendengar kabarmu, akhirnya kita bisa bertemu. Aku tidak menyangka, kau masih mau menghubungiku."

"Aku hanya membutuhkan waktu yang tepat, untuk menata hati, pikiran, dan waktuku."

Aku terdiam sejenak, mengamati aktivitas dermaga di malam hari yang kian ramai. Kini, tak hanya penumpang, tapi juga nelayan yang siap bekerja dengan perahu kecilnya.

"Banyak hal berubah dalam hidupku sekarang, Jefferson," ujarnya untuk memecah keheningan yang menjauhkan kami sesaat. "Aku mulai memaksa diriku keluar dari zona nyaman. Aku melakukan hal-hal yang tak pernah kuduga sebelumnya." Kudengar dia menghembuskan napas dengan cukup keras. "Belajar berdamai dengan masa lalu kita, misalnya."

"Maksudmu?"

Kudengar dia kembali menghembuskan napasnya dengan cukup keras, dan memaksa bibirnya membentuk senyuman. "Tidak mudah untuk melupakanmu, Jefferson. Kau pasti ingat dengan tulisan pribadi yang tak sengaja terkirim kepadamu -- entah siapa pelakunya. Aku tak bisa tidur berhari-hari lamanya, memikirkan bagaimana citraku di hadapanmu, teman-temanmu --"

"Clara, sudah kubilang tidak ada yang tahu surat itu."

"Kau takkan pernah tahu siapa saja yang juga telah membacanya, baik sengaja atau tidak. Yang pasti, hari-hari itu berat kujalani. Aku harus pula menanggung malu terhadapmu, yang jelas kutahu kau takkan memberikan hatimu padaku. Kau ingatkan, kau juga memintaku menjaga jarak? Yang puncaknya malah menghancurkan pertemanan kita selama enam tahun?"

Rasanya, Clara baru saja melemparkan sebilah pisau tepat di tengah jantungku. Begitu jahatnya perbuatanku pada dia dahulu, yang kupikir dapat memperbaiki pertemananku dengan dia tanpa memikirkan perasaannya sama sekali. Aku telah menyakiti perempuan yang sangat amat kupercaya.

"Sejujurnya, waktu itu pun aku mulai menyukaimu lebih dari sahabat, Cla," ucapku dengan suara bergetar. "Tapi, aku lebih ingin kau menjadi sahabatku. Sebab, aku belum berani berkomitmen lebih saat itu. Aku tidak ingin menghancurkan hatimu dengan kelakuanku yang belum dewasa."

Kini, giliran Clara yang tercengang. Wajahnya yang lebih sering menatap laut, kini seolah-olah tertarik oleh magnet yang melekat pada wajahku. Tatapannya begitu tajam.

"Ya, aku tahu, aku jahat. Aku tak memberitahumu saat itu. Aku tak punya pilihan lain. Oleh karena itu, sehari sebelum aku pergi melanjutkan studiku, aku mengajakmu bertemu untuk menjelaskan semuanya. Tapi kau menolakku."

"Hati perempuan mana yang tidak sakit dibuang oleh sahabatnya sendiri?"

Tanpa berpikir panjang, kurengkuh Clara yang mulai menangis dalam pelukanku. Tak pernah kulihat dia menangis sebelumnya. Kuusap wajahnya dengan perlahan, khawatir akan melukainya. Jantungku berdegup dengan cepat, yang kuyakin Clara juga mendengarnya. Jemariku bertaut dengan jemarinya dengan sangat erat. Kaki kami yang bergantung di atas dermaga pun saling bertautan. Kupeluk dia semakin erat, dan semakin erat.

"Aku janji, aku takkan meninggalkanmu lagi, Clara. Aku takkan mengusirmu lagi dari hidupku," aku menelan ludah. "Kini aku siap untuk memintamu sebagai teman hidupku."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zebra Cross.

Surya dan Mentari

Oasis