Oasis

Kata bisa saja meramu kisah yang indah. Namun, tanpa semesta, rasa takkan bertemu pada satu waktu yang sama.

Tidak ada alasan untuk tidak merasa kesal siang ini. Dalam waktu kurang dari lima menit, terik mentari tergantikan awan mendung yang amat pekat, lengkap dengan hujan amat deras dan angin kencang. Sial, gerutunya dalam hati. Untuk kesekian kalinya, payungnya tertinggal di ruang kerjanya. Rencana pulang cepat dan memulihkan lelah, sirna sudah. Bersama dengan puluhan orang lainnya, dia terjebak di satu perhentian yang sama.

Semakin lama, hujan turun semakin deras. Kulitnya mulai dibasahi air hujan, rambutnya pun dikacaukan oleh angin. Berbalut pakaian dengan kain tipis, dingin pun mulai merasuki tubuhnya. Belum lagi, berkas pekerjaan dan laptop di dalam tas yang harus mendapat perlindungan ekstra agar tidak basah. Sempurna. Kekacauan yang sempurna untuk sore ini.

"Anna? Terjebak hujan juga?"

"Oh, Dave?" Dengan hati yang sangat kacau, Anna memaksakan senyumnya. "Begitulah."

"Bagaimana kalau kita menunggu di sana saja?" Dave menunjuk kafe kecil yang berjarak sekitar 100 meter. "Sepertinya hujan akan awet sore ini."

Dengan kondisi perut lapar dan tubuh letih, Anna tak berpikir dengan panjang.  "Baiklah," jawab Anna dengan mudahnya. 

"Tak keberatan kalau kita pakai ini saja untuk menembus hujan?" Dave melepaskan jaket yang dia kenakan. "Sepertinya payungku tertinggal. Aku tidak bisa menemukannya di dalam tasku."

Apa? Menembus hujan selebat ini hanya dengan jaket... dan berdua?

"Jika kau keberatan, kita bisa menunggu di sini," ucap Dave lagi. "Maksudku, aku mungkin bisa menemanimu menunggu hujan reda... jika kau mau saja."

"Eh, baiklah. Sudah basah juga. Jadi... kita pergi sekarang?"

***

Entah ke mana para angin pergi. Perjalanan 100 meter di bawah guyuran hujan, terasa seperti duduk manis di tepi perapian yang hangat. Percik air hujan di jalanan, tidak ada rasa. Lengan yang bersentuhan sesekali, memaksimalkan sensasi hangat yang menjalar ke seluruh tubuh. Berlari di bawah jaket yang satu, perlahan memberikan semangat baru untuk Anna. 

"Kuharap, kau tidak apa-apa setelah berlari 100 meter di bawah hujan," kata Dave sambil menyeruput kopi hangat yang baru saja tersaji.

"Tidak, tentu saja tidak apa-apa," balas Anna. Dia sadar, mood-nya jauh membaik. Senyuman yang dia lemparkan pada Dave pun, juga jauh lebih rileks. "Lebih berharap berkas-berkas ini tidak ada yang luntur, dan laptop ini masih dapat dihidupkan."

Gantian, Anna menyeruput secangkir teh chamomile hangat di hadapannya. Sepotong waffle dinikmatinya juga. Akhirnya, ada sedikit asupan kalori sebelum aku pingsan, pikirnya.

"Bagaimana pekerjaanmu?"

"Baik," jawab Anna singkat. "Kau sendiri, bagaimana?"

"Baik juga," sahut Dave. "Kau boleh datang ke ruanganku yang sepi itu, jika membutuhkan ketenangan. Sepertinya pekerjaanmu banyak dan kau susah berkonsentrasi di keramaian?"

Anna tertawa kecil. "Tepat sekali. Kau masih ingat ceritaku."

"Tentu saja," kata Dave. "Jadi, kapan kau akan berkunjung lagi? Aku rasa rekan kerjaku juga akan menerimamu dengan baik. Kami menyukai ketenangan dalam bekerja."

"Mungkin, lain kali? Maksudku, saat aku benar-benar membutuhkannya." Anna tesenyum kecil, dan kembali meminum tehnya. Jelas sekali, dirinya gugup dengan pertanyaan semacam itu. Kandungan kafein teh tentu dapat sedikit meredakan dirinya. "Aku tidak mau mengganggu kalian, dan menggangumu, khususnya."

"Tidak, tidak sama sekali, Anna." Dave tersenyum.

Beberapa detik kemudian, tangannya meraih tangan Anna dalam genggamannya. Matanya juga menatap Anna dengan tajam. Mendadak, Anna juga tak mampu menelan waffle-nya. Bersama dengan itu, alunan musik di kafe mulai melambat dan menenangkan.

"Anna, tolong, jangan berpikir demikian. Kehadiranmu seperti oasis yang amat menyegarkan di tengah padatnya pekerjaan."

Dave mengusap telapak tangan Anna dengan lembut beberapa kali. Dari aura wajahnya yang dingin, senyum tipis mulai terpancar. "Aku selalu menunggu kapanpun kau ingin datang. Oke?"

"Ba-baik. Baiklah, Dave, kalau itu maumu. Tapi, nanti orang lain berpikir--"

"Berhenti memikirkan pendapat orang lain, Anna. Kau akan lelah. Ucapan orang lain tidak ada akhirnya."

"Ya, aku akan belajar untuk hal itu. Bagiku, pendapat orang lain sangat penting--"

"Anna," panggil Dave dengan lembut namun tegas. Tangannya menggenggam tangan Anna lebih erat lagi. "Hidup kita, bukan hidup mereka. Oke?"

Anna hanya menganggu pelan. Lidahnya kelu, dan tidak ada satu katapun yang terpikir di otaknya. Jiwanya berusaha memahami seluruh rangkaian kejadian ini. Seorang rekan yang tidak begitu akrab dengannya, mengajaknya berlarian di tengah hujan dengan sehelai jaket, menggenggam tangannya, dan mengajaknya bicara dengan sangat serius. Astaga, apa yang sedang dirancang semesta bersama waktu?

"Anna, terima kasih," suara Dave terdengar begitu dalam. "Terima kasih telah hadir di hidupku."

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zebra Cross.

Surya dan Mentari