Box
Sehari penuh ia habiskan dalam ruangan itu. Ruangan
yang bernuansa biru – warna favoritnya. Seharusnya, warna itu mampu memberikan
ketenangan padanya. Setiap kali ia merasa gundah, dengan berada di ruang
pribadinya saja ia mulai merasakan sedikit ketenangan. Namun kali ini tidak,
ada sesuatu lain. Seolah ada hal lain yang justru menyingkirkan rasa tenang
itu, dan menghadirkan kebimbangan.
Dunia ini terasa dingin, sangat
dingin. Dunia ini selalu menghadirkan sejuta tanda tanya pada babak baru.
Terkadang dunia membuatnya tersenyum. Terkadang dunia juga meluncurkannya pada
titik terendahnya. Senyum yang selalu dipasangnya, tak mampu mengembang terus.
Bunga saja dapat mengempis, demikian dengan senyumannya. Bagaikan topeng,
senyum itu ia lepaskan ketika ia berada dalam ruang pribadinya.
Seolah berada dalam kotak, itulah
yang ia rasakan. Tak banyak hal yang dapat ia lakukan. Sebagai seorang anak
termuda, ia berkewajiban menuruti semua perintah orang tuanya, dan berhak
menerima limpahan proteksi yang berujung pada penyudutan. Tidak benar-benar
penyudutan, sebenarnya. Tetapi ia sering kali merasa demikian. Mungkin itu bukti cinta mereka, hiburnya
dalam hati.
Di sisi lain, ia benci dengan urusan
hati. Mungkin saja ia terlalu muda untuk memahami bagaimana benih cinta dapat tumbuh,
dan bagaimana cinta itu bekerja. Hatinya masih belum seutuhnya kembali menjadi
satu. Masih ada secuil hatinya yang masih hilang, entah di mana. Bahkan, selaput
yang membungkus hatinya kian lama menebal. Padahal, sudah seharusnya
bagian-bagian yang terlepaskan itu segera kembali melengkapi hatinya dan sudah
saatnya selaput itu menipis.
Belum lama ia mengenalnya. Seorang
pemuda bertubuh tinggi dengan wajah misteriusnya. Senyumannya yang khas. Entah
ada gaya magnetik apa yang dipancarkan pemuda itu, ia mampu membuka selaput
yang sudah lama membungkus hatinya. Sedang dengan cuilan hati, entahlah, apakah
justru mengisi bagian-bagian yang terlepas atau justru menarik keluar
bagian-bagian lain yang dapat dilepaskan.
Ia mendesah pelan, kemudian menarik
selimut menutupi tubuhnya lebih banyak lagi. Kemudian, ia meraih secangkir teh
di atas meja kecil di samping kasurnya. Mungkin untuk sementara, hanya
secangkir teh yang dapat menghangatkan dan menenangkan hatinya.
Matanya terpejam, dan tak lama
kemudian, senyuman tipis mulai mengembang pada bibirnya, tanpa dipaksakan. Ia
membayangkan suatu hari ia akan bebas. Bebas untuk mengejar semua impiannya. Bebas
dari jerat perangkap ruangan kotak ini. Bebas dari segala pikiran yang membeban
hati, dan membelenggu batin. []
awwwwwww:")
BalasHapus