Secangkir Kisah tentang Hujan
Tak
banyak hal yang berubah dari hatinya. Masih terkunci rapat, dingin, dan
berdebu. Tak ada sedikit pun rasa dari luar yang hinggap padanya setelah sekian
lama. Tak ada sedikit pun rasa yang terpancar dari dalam untuk menghangatkan
hatinya. Ia terlalu asyik dan sibuk
dengan kesendiriannya.
Sehari-hari,
hanya buku-buku yang menemaninya. Terkadang, ada secangkir kopi atau teh hangat
yang menghangatkan suasana. Di rumahnya, ia punya sebuah tempat khusus untuknya
membaca. Bernuansakan cokelat, ruangan berbentuk persegi panjang tersebut
terkesan rileks. Terdapat sebuah sofa bewarna senada dengan meja kecil di
sampingnya. Dua sisi tembok ruangan tersebut terdapat rak yang menjulang dari
dasar lantai hingga hampir menyentuh plafon.
Kali
ini, novel My Sister’s Keeper
menemani sorenya yang mendung. Cuaca inilah yang paling disenangi, sekaligus
dibencinya. Mendung, sebentar lagi akan hujan. Seiring dengan jatuhnya air
hujan, sejuta ide juga akan menghujaninya juga. Sudah lama ia merindukan aliran
ide untuk berkarya. Semakin lama hujan terjadi, semakin banyak ide yang membanjiri
otaknya, semakin banyak karya yang akan dihasilkannya. Mungkin.
Di sisi
lain, ia terkadang cukup membenci hujan. Ya, hujan menyajikan memori masa lalu
yang terkadang membayanginya. Sering kali ia masih teringat, bahkan merasakan
hangatnya pelukan dia yang pernah mengisi hatinya.
“Aku benci hujan,” kata gadis itu.
“Mengapa? Bukankah hujan itu menyejukkan?”
“Ya, aku suka ketika ia menyejukkan. Tapi
terkadang hujan tiba pada saat tidak tepat. Seperti saat ini. Dingin. Ujung pakaian
serta sepatuku juga basah.”
“Itu salahmu. Kau tahu ‘kan sekarang musim
hujan? Mengapa tidak membawa jas hujan atau setidaknya payung?”
Gadis itu mendesah, dan melepaskan pandangannya
dari lelaki berpostur atletis di sebelahnya. Dasar, aku tak butuh kata-kata
itu. Aku tahu ini kecerobohanku, tapi setidaknya lakukan sesuatu, ungkapnya dalam hati.
Hanya dalam hitungan sepersekian detik,
lelaki itu melepaskan jaket yang ia pakai, kemudian melingkupkan jaketnya pada
tubuh gadis itu. Seketika, rasa hangat menjalari sekujur tubuh gadis itu. Tanpa
ia sadari, pipinya mulai menghangat. Pasti merona merah.
Belum berhenti sampai di sana. Lelaki itu
membuka payungnya. Gadis itu cukup kaget. Ia tak menyadari bahwa lelaki itu
membawa payung. Mungkin karena kecuekannya itu ia sering kali dijuluki cold-hearted
girl.
Masih ada ‘kejutan’ yang diberikan lelaki
itu. Ia menarik gadis itu mendekat padanya hingga mereka berdua berteduh pada
satu payung yang sama. Tangan kirinya memegang payung, sedangkan tangan
kanannya melingkar pada lengan kanan si gadis. Ditambah sebuah senyuman
setengah mengejek namun mempesona, gadis itu ‘meleleh’ seketika.
“Sudah siap jalan, nona? Sesuai jadwal,
busnya akan tiba sekitar sepuluh menit lagi.”
Gadis itu tak menjawabnya. Masih terpana
dengan apa yang ia lakukan. Entah mengapa. Sebagian dari gadis itu merasa
terpukau, namun sebagian lainnya merasa biasa saja. Memang itu hal yang wajar
dilakukan oleh seorang pria kepada wanita ketika hujan. Namun, berdasarkan
novel yang ia baca, jika seorang pria bertindak demikian, berarti…
“Apa aku harus
menggendongmu menyebrang ke sana? Atau kau bisa berjalan sendiri?” tanya
laki-laki itu, membuyarkan lamunan si gadis.
“Tidak. Memangnya aku
orang lemah, tak bisa menyebrang? Meskipun kedinginan, aku tetap bisa
menaklukkan jalan selebar sepuluh meter ini.”
“Kau ini lucu,”
kata lelaki itu perlahan. “Tidak hanya fisikmu yang kedinginan. Namun hatimu
juga, sepertinya.”
“Apa maksudmu?”
“Kalau hatimu
memang dingin, biarkan aku menjadi penghangat dan pengisi hatimu sampai suatu
saat nanti ada orang yang takkan membiarkan api dalam hatimu padam,” kata
lelaki itu. Sebelum gadis itu sempat merepson, ia melanjutkan kalimatnya. “Sudah,
ayo kita pergi sebelum antrian bertambah panjang.”
Ia sadar ia telah melamun untuk beberapa menit.
Hujan. Entahlah kekuatan super apa yang dimilikinya. Berjuta rasa ia tuangkan begitu
saja. Kadang tidak adil, kadang juga adil. Kadang membawa kebahagiaan, kadang juga
mengakibatkan kesedihan.
Karena, setiap kali terjadi hujan, ada saja kenangan
yang ia tumpahkan, dan meninggalkan jejak di dalam hati untuk selamanya.
Kenangan itu ada untuk menyemarakkan hidup. Tak selamanya kenangan manis
mempercantik keadaan, dan tak selamanya kenangan pahit itu memperburuk situasi.
Komentar
Posting Komentar