Hai,

Ah, akhirnya yang kunanti tiba. Deretan bulan dipenghujung tahun selalu membawa aura tersendiri -- liburan, target, rencana, berpadu menjadi satu dengan indahnya. Tapi entahlah, aku tak dapat menentukan perasaan hati yang tepat untuk momen ini. Sedih, tidak mungkin. Bahagia, juga tidak mungkin.

Senandung lagu sendu berhasil memaksaku keluar dari ruang persembunyianku. Betapapun aku mencintai perpustakaan dengan segala kelebihan dan kekurangannya, instrumen bernada menyedihkan tak bisa kutolerir. Akhir-akhir ini, tepatnya. Bersama tiga jenis buku yang kupilih, kuputuskan untuk menyusuri jalanan kota.

Kelopak Tabebuya mulai menghiasi trotoar, jalanan, atau objek apapun yang angin kehendaki untuknya. Kuning, putih, merah muda -- pohonnya tak lagi mempesona. Mungkin, setelah ini dia akan dilupakan sampai pada musimmnya.

"Hai. Belum bosan mengumpulkan kelopak bunga tak berguna itu?"

Suara tak asing menyapa telingaku, menyayat batin, dan mengoyakan kotak ingatan yang telah lama kukubur. Tidak ada satu kalori energi pun untuk mengangkat wajah dan menatapnya.

"Maaf ya. Mungkin salah orang."

Tubuhnya setinggi hampir 190 sentimeter, menabrak tubuhku yang hanya setinggi 150 sentimeter dengan kekuatan ekstra. Seluruh dunia pasti percaya, jika memang dia sengaja melakukannya. Di saat yang sama dia berlagak menjadi pahlawan, berusaha menyelamatkan tubuhku yang hampir mencium tanah.

"Oh, Hai,"

Sial. Aku beranjak dari sumber sendu itu demi menyambut hari yang lebih menyenangkan. Bukan menjemput sumber sendu ini. Satu detik, sepotong kata, berjuta kenangan dan rasa, menyambangi secepat kilat.

"Hanya hai?"

"Apa aku punya pilihan kata lain yang bisa kuucapkan?" tanyaku kembali.

"Kau adalah gadis pemilik kata dan argumen terbanyak di dunia yang pernah kujumpai seumur hidupku," jawabnya. "Dan mungkin di hanya kau satu-satunya."

"Jadi, hari ini senja mempertemukan kita di bawah payung awan mendung ini. Bagaimana kabarmu?"

"Ingin menyambut musim baru ini denganmu."

Sejak kapan dia pandai berkata-kata? Pasti dunia lain telah mengubahnya, atau merasukinya!

"Tidak usah bingung atau panik," katanya dengan ringan, dan kemampuannya membaca pikiranku masih sehebat dulu. "Aku masih seorang pemuda menjengkelkan yang berhasil membuatmu terpana."


***

Kini, aku yakin, dunia lain telah merasukiku. Di dalam jebak kecanggungan, kuputuskan mengambil posisi di sampingnya: duduk dan mengamati rembulan yang menggantikan kedudukan mentari. Mereka selalu berkolaborasi dengan cantik, menghasilkan simponi yang amat sempurna.

"Masih juga jatuh cinta pada langit senja?"

"Selalu."

Hening memisahkan kembali aku dan dia. Dia yang hadir dan memberi cinta, dia yang pergi dan menarik kebahagiaanku mendadak. Sekarang, dia hanya berjarak beberapa sentimeter dariku, dan memaksa ingatan yang hampir pudar.

"Aku merindukanmu sekarang," ucapnya, tanpa rasa bersalah.

"Benarkah? Tidak rindu yang lain?"

Dia menggeleng, kemudian menatap bulan berselimut awan mendung. "Setiap individu memiliki perbedaan. Demikian juga kau dan dia."

"Kau tahu, apa yang kuharapkan saat ini?"

"Apa?"

Kutarik napas beberapa kali sambil menenangkan diri, menggosok tangan beberapa kali untuk memompa kepercayaan diriku. "Mendengarmu berkata hai kembali. Hai untuk sesuatu yang baru. Hai untuk musim kita yang baru."


***

Kurasakan peluk yang begitu hangat dan dalam. Dan kusadar, kenangan tentangnya-lah yang telah memelukku semalam. Sungguh indah dan meneduhkan.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zebra Cross.

Surya dan Mentari

Oasis