Puzzle

Meski bersatu, garis pemisahnya tetap ada. 

*

Setiap detik, setiap menit, setiap jam, setiap hari, setiap minggu, setiap bulan, hingga setiap tahun aku berjuang mencari tahu makna di antara perjumpaan. Bahkan, tak jarang aku mencari tahu lewat hal-hal tak terduga. Misalnya, mengamati pergerakan ikan koi di kolam belakang rumahku, atau ikut klub mendaki gunung. Semua kulakukan, demi mendapatan jawabannya.

Bagiku, sebuah perjumpaan adalah hal yang menarik. Kadang membuahkan hal yang manis, kadang membuahkan hal yang pahit, kadang juga asam. Kita tidak bisa menebaknya. Hanya waktu yang akan mengungkap jawab di balik misteri perjumpaan.

Aku mengenalnya secara tidak sengaja, beberapa tahun yang lalu. Perawakannya tinggi, wajahnya cukup tampan di bandingkan kawan-kawannya yang lain. Setidaknya, waktu itu dia selalu memamerkan senyum manisnya kepada setiap pasang mata yang tertuju padanya dan karyanya. 

Secara tidak sengaja, gaya gravitasi menarik mataku dan matanya bertemu pandang. Saat itulah, ada sesuatu yang membuatku merasa dia adalah satu keping puzzle hidupku yang baru datang. Tetapi, cepat-cepat kulupakan imajinasi itu. Aku hanyalah seorang gadis biasa yang sama sekali tidak spesial, sedang dia adalah seorang fotografer handal yang digandrungi jutaan orang. 

*

Alam mempertemukanku kembali dengan dia dengan cara yang sulit kupahami. Satu bulan, dua bulan, tiga bulan, kami sering pergi berdua. Sering kali aku menemaninya mengambil gambar di alam, tetapi juga terkadang di jalanan. Rasanya, di mana pun dia berada, segala sesuatu dapat menjadi objek fotonya. Walau melelahkan, aku menikmatinya. Perasaanku yang menguatkan kondisi fisikku untuk selalu menemaninya. 

"Selamat ulang tahun, Rosie," ucapnya suatu malam saat aku berulang tahun ke 22. Bersamaan dengan itu, dia menyerahkan kue ulang tahun dengan lilin menyala serta sebuah papan dengan satu keping puzzle. 

"Ah, terima kasih, Jeremy. Kau seharusnya tidak perlu repot-repot," kataku sambil menyambut pemberiannya.

"Tidak mengapa, Rosie. Kau buka kadonya sekarang, juga tidak apa-apa. Tak perlu malu-malu." Sepertinya, Jeremy peka dengan keingintahuanku isi kadonya.

Setelah mendapatkan persetujuan dari Jeremy, aku segera membuka kadonya. Di dalamnya, terdapat sebuah papan berukuran 30 x 30 dengan pola puzzle, satu keping puzzle, dan lem. 

"Apa maksudnya ini, Jerry?" 

"Tempelkan saja, di mana menurutmu seharusnya potongan puzzle ini berada."

"Tetapi, tidak ada yang lainnya. Bagaimana aku bisa memahami gambar puzzle ini?"

"Ikuti saja permainanku," jawab Jeremy singkat dengan menegdipkan sebelah matanya.

"Baiklah."

*

Dua tahun kemudian, aku mendapat seluruh potongan puzzle dengan lengkap. Kini, aku dapat melihat potret diriku di dalam puzzle tersebut. 

"Jadi, kau memotretku saat kita pergi ke danau? Kenapa kau pilih foto itu?" tanyaku menginterogasi.

"Itu adalah pertama kali kita pergi berdua. Ketika perempuan lain berlomba-lomba mempercantik dirinya dengan lapisan make-up, kau pergi dengan wajah natural yang mempesona."

"Kau terlalu memuji, Jerry. Aku tidak rajin berdandan dan aku tidak bisa berdandan dengan baik. Hanya itu alasan mengapa aku jarang memakai make-up."

Jeremy meraih kedua telapak tanganku. "Rosie, terima kasih telah mengajarkanku banyak hal selama dua tahun terakhir ini. Puzzle ini sebagai bentuk ucapan terima kasih atas segala yang kau berikan padaku. Waktu, tenaga, ide, dan lain sebagainya."

"Aku tidak mengajarkan apa-apa, Jeremy. Kita berteman seperti biasa dan tidak ada sesuatu yang benar-benar bisa kaupelajari dari diriku."

"Kalau kau sadar, aku memberikan kepingan puzzle itu setiap kali aku merasa belajar sesuatu darimu. Diriku yang kosong, kini telah terisi penuh. Aku yakin, kau memang ditakdirkan untuk menjadi 'guru' bagiku."

"Dan kini kau yang menjadi 'guru' bagiku. Aku sadar, setiap momen indah akan membekas dalam hidupku, membentuk sebuah rangkaian puzzle yang baru dapat kupahami setelah semua keping puzzle telah terkumpul menjadi satu."

"Terima kasih atas segalanya, Rosie."

Tak dapat kupungkiri, saat ini jantungku berdetak lebih cepat. Mungkinkah Jeremy menyampaikan sesuatu yang bermakna? Perasaanku sungguh-sungguh dimainkan saat ini. Di film-film yang biasa kulihat, inilah saatnya sang pria menyatakan sesuatu yang berharga. Tetapi, berharga relatif, bukan?

Aku terus menunggunya. Detik demi detik berlalu sia-sia dengan kecanggungan. 

"Sekali lagi, terima kasih, Rosie," ucap Jeremy sekali lagi. 

"Kenapa kau harus mengucapkannya berulang-ulang, Jerry?" tanyaku.

"Darimu, aku belajar memahami bagaimana hidup kujalani, bagaimana sebuah hubungan harus dilandaskan pada saling memahami, bagaimana seorang laki-laki harus memahami pasangannya. Dan, darimu aku belajar memahami dia."

"Dia?" Kini, aku mulai penasaran. Siapakah yang dimaksud Jeremy dengan dia?

"Pacarku. Kita bertemu secara tidak sengaja ketika aku dan pacarku menjalin hubungan jarak jauh. Aku harus mempromosikan karyaku di sini, sedang dia sibuk menempuh studinya di sana. Ya, kamu adalah sahabat perempuan terbaik yang pernah kumiliki."

Oke. Ternyata hatiku berlabuh pada pelabuhan yang salah. Seperti perempuan normal lainnya, aku merasa sakit yang luar biasa. Hatiku terasa ditusuk dan diinjak hingga remuk.

"Sama-sama, Jeremy. Semoga kau dan pacarmu berbahagia."

*
Tiga tahun belum cukup mengobati hatiku untuk kenangan indah selama dua tahun bersama Jeremy. Setiap kali aku melihat puzzle pemberiannya, aku sadar. Mungkin, aku dan Jeremy pernah bersatu dan bersama. Kita pernah berada pada ruang hidup yang sama. Selama ini aku berpikir, ketika kedua insan telah bersatu, ruang akan dimiliki mereka berdua. Ya, aku lupa, ada garis yang memisahkan kepingan puzzle yang satu dengan kepingan puzzle yang lain. Tanpa garis itu, puzzle bukanlah puzzle. Tanpa ada garis-garis pemisah, hidup bukanlah hidup. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zebra Cross.

Surya dan Mentari

Oasis