Retrouvailles
BUK!
Sebuah novel yang cukup tebal
terjatuh dari rak penyimpanannya. Gadis itu sedikit menggerutu kesal. Lagi-lagi,
karena ia terburu-buru mencari novel yang dijadikannya sebagai sumber ide
proyek terbarunya, ada novel lain yang tak ia cari justru terjatuh. Beruntung,
tak jatuh mengenai kepalanya. Ponsel yang tadi digenggam pada tangan kirinya,
kini ia letakkan di atas kasur yang berada di sebelah raknya persis.
Seolah ada batu yang dilemparkan
tepat ke dadanya, itulah yang ia rasakan ketika ia melihat apa yang ia temukan pada
novel yang terbuka di atas lantai tersebut. Sebuah
pembatas buku, mungkin dengan demikian dapat dinamai. Namun, sebenarnya,
benda berbentuk persegi panjang tersebut adalah sebuah foto. Ya, sebuah foto.
Foto yang menyimpan kenangan yang sangat ia rindukan.
Gadis itu meraih foto beserta novel
tersebut. Terdiam beberapa saat melihat foto tersebut, sambil mengusapnya
perlahan. Di mana dia sekarang? Apakah
dia masih mengingatku, atau sudah sukses melupakanku? Kata batinnya. Tanpa
ia sadari, setetes air mata meluncur tepat di atas kertas foto tersebut. Tepat
di tengah gambar mereka berdua.
Sebuah swafoto yang tampak romantis.
Dalam foto itu, tampak seorang
pemuda dengan lengan kiri merangkul mesra gadis bertubuh sepundaknya. Kepala gadis
itu menempel pada dada pemuda itu, tersenyum dengan bahagia. Matanya berbinar.
Mungkin, pada saat itu ia dapat dinobatkan sebagai gadis paling bahagia
se-dunia. Sedang pemuda itu tampak menjaga wajah cool dengan tatapan ini-gadisku-sumber-kebahagiaanku.
Kembali
ke kenyataan, gadis itu merasa tubuhnya sedikit bergetar. Tetes-tetes air mata
meluncur begitu saja tanpa dapat ia kembalikan. Lututnya terasa lemas untuk
dapat menopang tubuhnya. Dalam hitungan detik, ia terjatuh ke lantai dengan
posisi foto dalam dekapannya. Novel tak lagi ia pedulikan. Proyek, ia abaikan
sejenak. Untuk beberapa waktu ke depan, ia hanya ingin bernostalgia dengan rasa
yang dulu pernah bersarang dalam hatinya.
***
Tiga tahun yang
lalu.
Senyum
gadis itu tak sekalipun meredup. Tak hanya bibirnya yang menyunggingkan
senyuman, namun juga matanya. Mata yang tersenyum, mengindikasikan betapa besar
kebahagiaannya. Semua itu karena pemuda yang duduk di depannya saat ini. Pemuda
yang awalnya tidak ia sukai, namun kini berstatus lebih dari teman biasa. Bukan,
mereka bukanlah sepasang kekasih. Hanya teman. Teman dekat yang menjalin
hubungan sangat dekat, entah apa status dari hubungan mereka itu.
“Jadi,”
kata gadis itu sambil berusaha menghentikan tawanya. “apa yang ingin kau katakan
padaku hari ini?”
“Ehm,”
pemuda itu berdeham. Ekspresi wajahnya tiba-tiba sangat berbeda. Senyuman dan
tawa dari pemuda itu lenyap, entah siapa yang mencurinya.
“Kenapa?
Katakan saja apa yang ingin kau katakan.”
Pemuda
itu jelas bingung bagaimana menyampaikan apa yang ingin ia sampaikan pada saat
ini. Bukanlah hal yang mudah untuk mengatakan hal ini. Bahkan, ia telah mempersiapkan
dengan berlatih bicara di depan cermin berhari-hari sebelumnya. Namun satu hal
yang tak pernah bisa ia persiapkan – reaksi gadis itu.
Biasanya,
jika ia mengajak gadis itu untuk bertemu dengan mengatakan ‘ada sesuatu yang ingin kubicarakan denganmu’,
maka yang dibicarakannya adalah hal-hal yang indah. Kisah persahabatan. Masa
depan. Semuanya yang terencanakan untuk menjadi indah. Sayangnya, tidak untuk
kali ini. Mimpi buruk membangunkannya dari tidur nyenyaknya.
“Kuharap,
kau dapat memahami maksudku. Tidak salah tangkap maksud perkataanku sebenarnya.”
“Sudah,
katakana saja. Jangan berlama-lama.”
Sekali
lagi, pemuda itu menarik napas perlahan dan menghembuskannya secara perlahan
juga. “Aku akan pindah. Pindah ke luar negeri?”
Gadis
itu terperanjat kaget untuk beberapa detik, kemudiaan segera ia menenangkan
ekspresi wajahnya. Jelas sekali dari guratan emosi pada wajah gadis itu
mengindikasikan perasaannya yang carut marut. Pemuda itu tahu dengan jelas apa
alasannya.
“Pin-dah?”
ulang gadis itu.
“Ya,
pindah. Melanjutkan studi di sana. Minggu depan keberangkatanku. Tak bisa
kutunda lagi.”
“Mengapa
begitu mendadak?”
“Tidak,
ini tidak mendadak. Sudah dipersiapkan dari jauh-jauh hari.”
“Tapi
mengapa kau baru mengatakannya padaku? Bukankah kau pernah berjanji bahwa kau
akan memberitahukanku jauh-jauh hari jika kau akan pindah?”
Kini,
giliran pemuda itu yang terdiam. Ya, ia ingat betul akan janjinya itu. Janji palsu ketiganya. Yang pertama? Ia
berjanji takkan membuat gadis itu sedih, apalagi menangis. Yang kedua? Ia
berjanji pada gadis itu untuk tidak akan pernah meninggalkannya. Tak peduli
janji pertama atau kedua atau ketiga, semuanya ia langgar.
Gadis
itu terdiam dalam waktu cukup lama. Jelas ia tahu perasaan kalut yang menguasai
hati gadis berambut panjang di hadapannya. Jelas ia tahu bahwa ia-lah
penyebabnya. Semuanya jelas dari bahasa non-verbalnya. Tertuntuk. Jemari kedua
tangan yang saling bertaut entah apa yang dilakukan. Mata yang tampak sayu. Bibir
yang terkunci rapat. Perasaan bersalah meliputi pemuda itu. Seharusnya ia
mengatur kalimatanya dengan lebih baik lagi. Namun, apa daya? Ia tahu jelas
gadis ini lebih suka jika dirinya berterus terang. Apalagi urusan hati.
“Jika
kau sudah memikirkan dan mempertimbangkannya dengan baik, lakukanlah itu.
Jangan pernah kecewakan siapapun, jangan pernah. Selamat berjuang di sana. Aku
harap aku dapat melihat dirimu yang sukses di masa mendatang.”
Pemuda
itu mengangguk lemah. Memangnya, ia punya jawaban untuk gadis itu? Ia tak
sanggup berbuat apapun selain terus menyalahkan dirinya sendiri melihat gadis
yang disayanginya mulai menahan air mata yang meluncur dengan alibi flu
mendadak.
Gadis
itu tak tahu mengapa ia menangis. Tak seharusnya ia menangis. Apalagi di
hadapan pemuda ini. Ia telah berjanji pada dirinya sendiri takkan membiarkan
seorang pun melihatnya menangis, apalagi pemuda ini. Ia tak ingin terlihat
lemah di hadapan siapapun, kecuali Tuhan dan orangtuanya.
Saat
ini, sungguh ia berusaha menyingkirkan apa yang telah menghantui pikirannya
sejak kalimat itu diterima diotaknya.
Jika nanti suatu saat aku memang akan pergi
dari kota ini untuk jangka waktu yang lama, kuharap aku dapat melupakanmu.
Semua tentangmu akan tersimpan seperti memori. Dan kuharap aku akan bertemu
dengan seorang lain yang seperti dirimu.
Satu
alasan yang menjadi gong atas kesedihannya: ia belum sanggup untuk ditinggal
pergi oleh pemuda yang diam-diam membuatnya terkagum.
***
Tak
ada pilihan lain selain menjauh dari proyek untuk sesaat sebelum ia
menghancurkan mahakarya bernilai puluhan juta ini. Cukup bernilai untuk sebuah
proyek perdana dari lulusan baru. Bisa-bisa, ia ditendang dari timnya jika ia
mengacaukannya. Jadi, lebih baik ia cuti sesaat dengan alibi butuh pencerahan
ide.
Langkah
kakinya menghantarkannya pada sebuah bukit yang tak terlalu jauh dari rumahnya.
Indah, berlatarkan bukit lainnya yang tak kalah indah. Pemandangan menjelang
senja memadukan cahaya matahari yang hampir beristirahat dengan punggung bukit
menghasilkan gambaran yang sempurna. Ia duduk di sana seorang diri di bawah
sebuah pohon. Biasanya, tempat ini memang menjadi tempat untuknya mencari ide. Dan juga
untuk menikmati waktu bersama dengan pemuda itu.
Kini,
ia hadir dengan selembar foto di tangannya. Sekali lagi, ia mengusap foto
tersebut perlahan, dengan lembut, dengan penuh cinta. Ya, memang ia menyayangi
pemuda itu. Dan tak dapat disangkal, ia merindukan pemuda itu. Tiga tahun
lamanya tak ada percakapan diantara mereka. Tak ada kabar yang saling
dikirimkan.
Sebelum
air matanya meluncur lagi, ia memutuskan untuk memejamkan matanya. Foto kembali
diletakkan di dadanya, didekapnya seolah ia sedang mendekap pemuda itu. Ketika
ia memejamkan mata, semua kenangan bersama pemuda itu bagaikan film tanpa
suara. Menampilkan cupilkan-cuplikan memori manis berdua. Pertama mereka bertemu,
bagaimana mereka menjadi akrab, berbagai hal yang dilakukan bersama, bagaimana
pemuda itu menggenggam tangan dan merangkulnya untuk pertama kali, serta bagaimana pemuda itu mengakui ada rasa
sayang yang sangat besar yang ia simpan untuk
dirinya.
Tanpa
ia sadari, senyuman mulai mengembang. Namun, air mata tetap saja meluncur. Andai saja, tak ada perpisahan. Akankah
semuanya berjalan mulus dengan akhir yang manis untuk mereka berdua? Atau
memang takdirlah yang memaksa mereka untuk berpisah?
Baru
saja ia akan membuka matanya perlahan, ia rasakan ada dua buah telapak tangan
besar yang menutup matanya. Telapak tangan itu terasa dingin. Ia meraba telapak
tangan yang menyetuh wajah sendunya itu. Meraba kedua lengan itu. Entahlah,
kenapa seolah ia mengenali kontur telapak tangan serta tulang yang menyusun
kedua lengan itu?
Ia
geserkan perlahan kedua tangan itu dari wajahnya. Menoleh ke arah pemilik
tangan itu. Apakah matanya salah melihat, atau ada sepasang sayap yang
mengantarkannya pada dunia fantasi yang penuh khayalan?
“Hai,”
kata pemuda itu. Gadis itu tak pernah salah mengenali fisik serta suaranya. Dan
hal ini terlalu nyata untuk dianggap sebagai fantasi. “Aku di sini.”
Pemuda
itu beranjak duduk di samping gadis itu dengan tanpa jarak di antara mereka
berdua. Gadis itu masih susah memahami apa yang terjadi. Ini… sungguh nyata?
Pemuda
itu merangkulnya dengan penuh kasih. Sungguh, ini nyata. Tanpa berpikir panjang
lagi, ia memiringkan kepalanya ke arah pemuda itu. Menyender dengan penuh
kepercayaan. Kedua tangan mereka bertaut, saling melampiaskan rasa rindu yang
sudah lama ditahan.
“Maaf,
untuk kejadian tiga tahun lalu,” kata pemuda itu akhirnya, sebelum isakan gadis
di sampingnya bertambah keras.
“Tidak
apa-apa, tidak apa-apa. Kau sama sekali tidak salah. Hatiku yang belum siap
pada saat itu.”
“Aku
mengingkari janjiku sendiri. Aku membuatmu sedih bahkan menangis. Aku
meninggalkanmu. Aku tidak memberitahumu dari jauh-jauh hari rencana
kepergianku.”
“Tidak
apa-apa, tidak apa-apa,” kata gadis itu dengan nada berusaha untuk tenang. Ia
tahu, perkataan gadis itu bertentangan dengan hatinya. Ia mendekap gadis itu
lebih erat lagi dalam pelukannya.
“Apakah
aku datang terlambat?” kata pemuda itu setelah beberapa saat.
“Datang
terlambat?”
“Apakah
aku datang terlambat,” ulang pemuda itu lagi. Kini, pemuda itu berlutut
dihadapan gadis itu. Tangannya memegang tangan gadis itu. “Untuk membahagiakanmu
dengan caraku sendiri?”
Lidah
gadis itu kelu. Jantungnya berdegup dengan cepat, terlampau cepat. Ia tak tahu
reaksi kimia apa yang sedang berlangsung dalam hatinya. Tubuhnya terasa
bergetar, seolah ada aliran listrik yang memberikan sensasi susah dijelaskan.
“Belum,”
katanya pelan.
“Kini
kuharap aku sudah mendapatkan hatimu seutuhnya. Kuharap aku dapat melakukan berbagai
hal yang lebih membahagiakanmu lagi mulai saat ini. Mulai detik ini.”
“Cukup
bertemu denganmu setelah sekian lama tak bertemu, kau sudah mengawali caramu
membahagiakanku,” kalimat gadis itu bergetar dibibirnya. “Aku tak pernah merasa
sebahagia ini sebelumnya. Aku–“
Pemuda
itu menarik tangan gadis itu untuk berdiri, kemudian mendekapnya dalam
pelukannya. Gadis itu membalas pelukan pemuda itu juga. Sangat erat, seolah tak
dapat dipisahkan.
“Aku
juga sangat bahagia akhirnya dapat bertemu denganmu,” kata pemuda itu. “Dan aku
takkan mengingkari janjiku lagi. Aku takkan membiarkanmu sedih apalagi
menangis. Aku takkan meninggalkanmu. Aku akan membahagiakanmu, dengan caraku
sendiri.”
***
Komentar
Posting Komentar