One Short Journey [part 01]
When you
take time with God and listen to His voice, He renews your strength and enables
you to handle life.
Semilir
angin yang membelah serta mengacaukan tatanan rambutku menyambut begitu kakiku
menapak pada tanah tempat aku berpijak pada hari itu. Kuhirup udara yang segera
mengisi kesegaran pada paru-paruku. Hawa sejuk meliputiku, membuat kulitku
turut bernapas.
Cuaca
hari itu sangat sempurna bagiku. Tak panas, juga tak dingin. Matahari tampak
malu-malu sehingga bersembunyi di balik awan stratus. Gemerisik suara dedaunan
yang saling bergesekan serta kicauan burung dari kejauhan semakin
menyempurnakan suasana siang itu. Ya, inilah alam. Alam ciptaan Tuhan yang
sangat luar biasa.
Lamunan
akan kenikmatan alam tiba-tiba menguap bak air yang di atas pan evaporimeter. Tiga hari takkan lama.
Mungkin. Atau mungkin akan terasa lama. Astaga, bahkan aku baru menginjakkan
kakiku di sini. Tapi aku ingin pulang. Saat ini juga. Tolong bawa aku kembali
ke Surabaya. Aku merasa tidak siap untuk camp
ini. Hatiku entah masih berkelana di mana, yang pasti bukan di tempat ini.
Bertemu
dengan teman-teman yang super baru (memang pernah bertemu sebelumnya, tapi tak
mengenal) membuatku merasa awkward.
Ditambah lagi, aku harus tidur sekamar dengan delapan orang lainnya yang sama
sekali tidak ada yang akrab. Oh, man!
Andai saja aku boleh mengajak seorang saja teman dekatku. Setidaknya untuk
menemaniku berbincang ketika di dalam kamar. Atau menemaniku ketika hendak ke
toilet.
Mungkin
Tuhan ingin aku bergaul dengan teman-teman yang lain, tidak hanya pada
lingkaran yang sama, pikirku. Dengan setengah berat hati, kutopang
ranselku yang sangat berat dan cukup besar di belakang punggungk sambil
menuruni jalan dengan kemiringan sekitar 450-500.
Sungguh, cukup curam dan melelahkan untuk dilewati secara berulang kali.
Masuk
dalam kamar, tak banyak hal yang terjadi. Hanya obrolan singkat saling
memperkenalkan diri ala para gadis kuliahan. Sedikit berbagi kisah, kemudian
datanglah saat-saat yang sangat kutunggu: MAKAN SIANG.
Dan
singkatnya, tak banyak yang terjadi pada hari pertamaku di tempat ini. Namun,
setidaknya tempat ini tak seburuk yang kubayangkan. Bahkan, melampaui apa yang
ada digambaranku. Tempatnya sungguh menarik, banyak spot untuk berfoto, entah berfoto bersama siapa atau siapa yang
akan memotretkan untukku. Yang kupikirkan hanya befoto, makan, menikmati
liburan singkat bersama teman, dan ya
berkutat pada hal-hal itu saja. Mungkin aku akan mendapatkan satu atau dua
pelajaran berharga. Atau mungkin justru sama semua pelajaran yang akan kuterima
dan pelajaran yang sudah kuterima.
Eits, tetapi di hari pertama ini ada
satu sesi lagi (karena sesi yang pertama disampaikan di Surabaya). The Ambassador, demikian sang pembicara
menamai sesinya. Sesi pertama ini cukup membuatku berpikir dan memeras otak
beberapa saat. Apakah mimpi-mimpi yang
kurancang sedemikian indah bertujuan untuk diriku sendiri atau untuk kemuliaan
Tuhan? Apakah sebagai ambassador (ambassador-nya Tuhan, Red), aku sudah dapat menjadi seorang yang
patut untuk dicontoh. Kedua pertanyaan besar (menurutku) ini
membuatku benar-benar berpikir, serta merefleksikan kembali hidupku. Ditambah
lagi dengan pernyataan sang pembicara: Hidup kita itu seperti akuarium, orang dapat melihat
hidup kita dari berbagai sisi. Seketika, aku merasa sebuah kaca besar disodorkan di
hadapanku, agar aku melihat diriku sendiri hingga titik ini. Bagiku, belum
banyak hal atau bahkan belum ada satu hal pun yang dapat ‘dilihat’ oleh orang
lain.
Ada
tiga poin utama yang ditekankan oleh pembicara berkaitan dengan hidup sebagai ambassador-nya Tuhan (PENTING SEKALI!). Yang pertama adalah Hidup adalah pesan bagi dunia (Amsal 21:21, Matius 6:33). Kemudian
yang kedua adalah Hidup
adalah inspirasi bagi sesama, dan yang ketiga adalah Hidup adalah teladan bagi generasi (1 Timotius 4:12).
Sebuah
pesan penutup dari sang pembicara tiba-tiba memacu saya untuk bertahan lebih
lama mendengarkan pembahasannya (yang menurut beberapa orang rekan agak
membosankan). Beliau semacam memberikan tips bagi kita, yaitu “Hadiah terbesar untuk diberikan pada orang
lain adalah menuntunnya pada kebenaran”. Ya, mungkin itulah yang dapat
dinamakan sebagai hadiah yang sejati, bukan sekadar berbagai barang dengan
harga yang tak ternilai.
Mungkin
bagi kalian yang bertanya-tanya bagaimana aku bisa menjalani camp serupa ini, hal ini dikarenakan
terpilihnya diriku di antara (yang konon katanya) 1000 mahasiswa yang mendaftar.
Entah bagaimana ceritanya aku bisa masuk
dalam kelompok yang sangat luar biasa menurutku ini. Melihat mereka peserta lainnya,
seolah aku adalah setitik debu yang menempel pada tanah sedang mereka adalah
burung yang asyik berterbangan di udara. Hanya
oleh mujizat Tuhan aku berada di sini.
Cukup
sampai di sini untuk saat ini. Tanda tanya-tanda tanya yang ada akan segera
dihapuskan, segera.
PS: to be continue à
Day 2 (Dec, 17th 2016)
semangat ree,lanjutin sampe day3 yah!
BalasHapusSabar yah, on progress! Stay tune :D
HapusLike it!
BalasHapusthankyou! :D
Hapus