Rindu di Malam Minggu
Sendu di wajahnya tak lagi dapat dipungkiri. Tiada
gerut kesedihan yang terlukis dari bibirnya yang sanggup disembunyikan. Matanya
tak lagi bercahaya memancarkan kebahagiaan. Emosi di wajahnya tak lagi
mengembang seperti biasanya. Semuanya telah musnah, seolah tidak ada lagi jejak
kebahagiaan yang pernah mengisi hari-harinya. Kepalanya tersender pada tiang
jendela besar tempatnya bertengger. Kakinya ditekuk di depan dadanya. Kedua tangannya
memeluk kakinya.
Suasana
alam seolah memahami apa yang ia rasakan. Rasa tertahan yang begitu lama tak
pernah ia sampaikan. Hujan terus turun tanpa ada tanda berhenti. Terus, dan
terus. Kian deras, malahan. Suara tetes hujan di atas genting mengisi
keheningan dalam hati serta pikirannya.
Ya,
sebenarnya rumahnya tak sepi. Cukup ramai bahkan. Ada beberapa keluarga jauh
yang berkunjung, bermaksud untuk bercengkerama karena lama tak bertemu.
Sedangkan, ia tak sudi ditemui. Bukannya ia tidak suka ada keluarga yang
datang. Namun, hari ini, waktu ini, bukanlah saat yang tepat. Ia tak ingin diusik
oleh apapun dan siapapun selain gemericik air hujan.
Jedelanya
sengaja ia buka. Sesekali air hujan menetes atas tangan dan wajahnya. Tetesan
itu menyegarkan. Setidaknya, mengobati rindunya. Sudah sepuluh malam minggu ia
lalui dengan kondisi sendu seperti ini. Merenungi kesendiriannya sembari
menikmati tetes air hujan yang hadir menemaninya secara rutin.
Ia
iri pada tanah. Katanya, apa yang di bawah sulit untuk mendapatkan apa yang ia
ingin dapatkan. Tapi, apa buktinya? Tanah justru menikmati dan mendapatkan
lebih dari apa yang ia harapkan. Hujan tak pernah lelah untuk menghampirinya di
malam minggu. Merasuki jiwanya hingga tak lagi ia rasakan kekeringan akan cinta
sang sumber kehidupan – air. Lalu, bagaimana bila dibandingkan dengan dirinya?
Hati terasa terus kosong. Perasaan terkubur semakin dalam, entah akan
menghancurkan dirinya atau memupuk cintanya kian tinggi. Lihatlah, yang lainnya
pun juga bahagia dengan pasangannya. Namun yang pasti, kini, ia sungguh merasa
sepi yang luar biasa.
Mengisi
kekosongan batinnya, ia membayangkan kejadian-kejadian indah yang ia harapkan. Menikmati
indahnya pemandangan matahari terbit di daerah pegunungan bersama, menikmati
sajian teh hangat di sore hari yang menyenangkan, berperang dengan
gumpalan-gumpalan bola salju yang lembut. Semua hal manis melintas di
pikirannya secara bergantian, seolah film tanpa suara.
Salahkah
jika rindu itu muncul kian kuat di malam minggu? Malam ketika ia berkenalan
dengan seorang yang menaklukkan dan membuka pintu hatinya? Ataukah mungkin,
cinta itu hanya bertepuk sebelah tangan? Apakah rasa rindu itu harus sama
terbalaskan sebesar rasa rindu yang ia luncurkan untuknya?
Izinkan aku ‘tuk merindukanmu di malam
minggu ini, bak seorang kekasih yang merindukan kehadiran sang pujaan hati,
meski aku dan kau tak disatukan oleh sebuah garis lurus yang tegas di antara
kita.
Komentar
Posting Komentar