Postingan

Menampilkan postingan dari 2019

Hai,

Ah, akhirnya yang kunanti tiba. Deretan bulan dipenghujung tahun selalu membawa aura tersendiri -- liburan, target, rencana, berpadu menjadi satu dengan indahnya. Tapi entahlah, aku tak dapat menentukan perasaan hati yang tepat untuk momen ini. Sedih, tidak mungkin. Bahagia, juga tidak mungkin. Senandung lagu sendu berhasil memaksaku keluar dari ruang persembunyianku. Betapapun aku mencintai perpustakaan dengan segala kelebihan dan kekurangannya, instrumen bernada menyedihkan tak bisa kutolerir. Akhir-akhir ini, tepatnya. Bersama tiga jenis buku yang kupilih, kuputuskan untuk menyusuri jalanan kota. Kelopak Tabebuya mulai menghiasi trotoar, jalanan, atau objek apapun yang angin kehendaki untuknya. Kuning, putih, merah muda -- pohonnya tak lagi mempesona. Mungkin, setelah ini dia akan dilupakan sampai pada musimmnya. "Hai. Belum bosan mengumpulkan kelopak bunga tak berguna itu?" Suara tak asing menyapa telingaku, menyayat batin, dan mengoyakan kotak ingatan yang telah

Surya dan Mentari

Andai, cerita kita seperti Surya dan Mentari. Rupanya, hari ini hari ke tiga puluh. Tepat tiga puluh coretan merah kecil-kecil juga melintang pada kalender kecil yang bertengger di atas mejaku. Tepat tiga puluh hari, tirai biru tua menghalangi sentuhan alam menembus kamarku. Tepat empat minggu, aku terbenam dalam duniaku. Kalau bukan karena burung kecil yang mendadak hinggap mengetuk-ngetuk kaca jendelaku, aku belum mau bersentuhan dengan alam. Ruang kamar seluas lima meter persegi ini sudah cukup menjadi duniaku, menjadi semestaku. Balut selimut sudah cukup menenangkanku. Sekali lagi, kutarik selimut hingga menutup seluruh tubuhku. Kubungkam telinga dengan bantal, berharap sunyi segera menguasaiku. Sial, burung kecil terus mengetuk-ngetuk kaca jendelaku. Langit terhampar sangat luas untuk dilewatinya, kenapa mesti mengganggu siangku? "Akhirnya, kamar ini disiram sinar matahari." Seorang perempuan dengan rambut pendek sebahu memasuki teritoriku. Secara tida

Keping Emosi

Yang keempat. --- Senja kembali menjemput dengan cepat. Sepertinya, matahari sudah tak sanggup lagi menahan rindu kepada horizon yang menantinya pulang. Sudah saatnya matahari untuk beristirahat, Tumpukan berkas masih menggunung di atas meja Elena, mengapit laptop yang sudah menyala lebih dari delapan jam lamanya. Dekorasi yang menghias meja kantor pun juga tertimbun di lautan berkas. Jemari Elena yang memukul-mukul tombol keyboard terdengar dengan volume yang keras dan cepat, memecah keheningan. Sebagian besar karyawan memilih untuk pulang sebelum jam kemacetan memuncak. "Proyek Mr. Primus?" tanya seseorang. "Ah, ya, benar sekali," jawab Elena. "Akhirnya, pertanyaan saya dijawab." "Maksudmu?" "Saya bertanya sebanyak lima kali, dan pertanyaan kelima yang kaujawab," ucapnya. "Apakah masih ada yang bisa kulakukan? Sepertinya hari semakin malam dan Anda masih sangat sibuk dengan pekerjaan. Sebagai rekan satu tim, say

Keping Emosi

Yang ketiga. --- Ah, sial! Apakah tubuhku melayang semalam hingga bisa mendarat sempurna dengan dibungkus selimut hangat ini? ! Sinar mentari yang menembus jendela dengan malu-malu memaksa Elena membuka matanya. Ya, Elena hanya bisa tidur di tengah kegelapan total. Sedikitpun cahaya yang berani menerobos area wajahnya, dia akan dengan sangat segera terbangun. Belum lagi, pagi ini dilengkapi dengan getar ponsel berulang-ulang. " Good morning, Sunshine ?" sapa Olivia di ujung telepon. "Sudah pulas tidurmu? Sudah segar tubuhmu? Sudah siap dengan tumpukan deadline hari ini? Sudah siap meeting bersama Mr. Primus dan Mrs. Renata?" "Astaga, Olivia. Kesadaranku baru terkumpul satu persen. Tolong jangan bicarakan urusan pekerjaan di telepon ketika masih terlalu pagi." "Aku harap kau sedang bergurau. Sebab, dalam empat puluh tiga menit lagi, kita akan briefing bersama dengan Liu Wen the Big Boss. Itu artinya, tidak ada kata terlambat

Keping Emosi

Yang kedua. --- Musim gugur 2006. Kamis tak pernah menjadi hari yang sibuk. Namun, di hari ini, lautan manusia menguasai halte mungil di depan gedung perkantoran dengan sembian lantai ini. Mentari yang menyilaukan semakin menuju ke barat. Mereka yang menanti, memicingkan mata menantang mentari, demi melihat secara langsung kedatangan bus. Seorang perempuan yang baru keluar dari gedung perkantoran tersebut mendesah. Seharusnya dia mengikuti kata hatinya untuk mengambil jam lembur. Namun, fisiknya memberontak dan memaksa dia untuk pulang. Badannya belum pulih betul akibat penerbangan jarak panjang yang ditempuhnya kemarin. Sekarang, inilah akibatnya.  Lebih baik kerja lembur tanpa mendapatkan bonus daripada harus berdiri berdesakan dengan orang-orang yang berkeringat ini, pikirnya. Setelah menanti sekitar dua pulub tiga menit, bus yang dinanti-nanti akhirnya tiba. Mendadak, lautan manusia yang telah lesu, serempak menjadi semangat. Sama semangatnya ketika mendapatkan jackpot da

Keping Emosi

Yang Pertama. --- Laptop beradu dengan buku tebal di atas sebuah meja bundar. Di sampingnya, terdapat secangkir  Matcha Latte  dan secangkir  Jasmine Tea  dengan uap yang mengepul. Lagi, baru saja meluncur dari dapur, sepotong  croissant  diapit garpu dan pisau. Senja telah menjemput. Alunan musik yang diputar lembut, menembus suara percakapan yang samar-samar. Di dalam  lounge  tersebut, terdapat  bar  serta enam buah meja bundar dengar diameter tujuh puluh lima sentimeter. Kini, hanya ada seorang di  bar  yang sibuk dengan ponselnya, seorang menempati sebuah meja bundar, dan sepasang kawan karib menguasai meja di ujung ruangan. Olivia menarik bukunya hingga hampir menutupi seluruh wajahnya. Di sana, dia mengintip Elena, yang sedari tadi sibuk mengetik sesuatu dengan laptopnya. Sebagai seorang yang melankolis, Olivia sadar betul, ada sesuatu yang  bermasalah  dengan sahabatnya. Ya, hari ini Elena mengetik dengan tekanan yang  sangat besar  kepada  keyboard  laptopnya. De

Bintang

Akhirnya, malam ini aku bisa melihat langit dengan cerah. Hujan memutuskan pergi malam ini bersamaan lenyapnya awan-awan yang biasa bergelantungan. Mungkin mereka berkompromi untuk hengkang sesaat dari troposfer. Atau, mungkin saja mereka sedang berdiskusi atau mengadakan konferensi tentang sesuatu. Tidak ada yang tahu. Tetapi, yang penting malam ini aku bisa menikmati malam bertabur bintang yang begitu menawan. Aku beruntung, rumahku berada cukup jauh dari hiruk pikuk kota metropolitan ini. Orang tuaku memang pemilih sejati. Rumahku ini berdiri tak jauh dari hutan kecil dengan pepohonan yang teduh. Jika melangkah lebih dalam hutan, terdapat padang rumput yang tak terlalu besar Di siang hari, terik matahari takkan menyengat kulitmu. Di malam hari, pemandangan indah akan menemanimu seperti malam ini, dengan syarat tidak ada awan atau hujan yang menghalangi. Rumput tempatku berbaring seolah menjadi kasur bagiku. Rasanya begitu nyaman, seperti kasur di kamarku sendiri. Pastinya, denga

Tentang Jarak

Dari atas sini, malam tampak begitu indah. Kulemparkan pandanganku ke bawah. Gemerlap cahaya lampu ditemani lampu kendaraan yang membentuk garis. Bangunan-bangunan juga berlomba-lomba memancarkan cahaya yang lebih terang dibandingkan yang lainnya. Dari atas sini, malam tampak begitu menawan. Kulayangkan mataku ke atas. Bumi diselimuti langit hitam nan kelam, dengan taburan bintang-bintang kecil. Sinarnya hanya berupa titik-titik. Bergeser ke sisi lain yang lebih tinggi, bulan tampak sangat tipis -- tidak sedang dalam fase kesempurnaannya. Kalau kau bertanya, di mana aku sekarang, aku berada pada ketinggian 155 meter di atas permukaan air laut. Tidak, aku tidak berbohong, atau mabuk. Benar memang, aku berada pada ketinggian 155 meter di atas permukaan air laut, di atas gedung tertinggi di distrik ini. Angin malam cukup kencang, beruntung jaket yang kupilih malam ini bisa menjaga tubuhku tetap hangat. "Datang lagi?" Lex datang menghampiriku. Ditawarkannya minuman hangat

Dermaga

Di tengah keramaian malam, hanya dia yang menjadi pusat perhatianku. Orang-orang berlalu-lalang. Ada yang sendirian, ada yang bersama pasangan atau keluarga. Ada yang pergi dengan tangan kosong, ada pula yang pergi dengan tas ransel, karton di pundak, bahkan kendaraan atau hewan peliharaan. Demikian pula dengan mereka yang datang. Semilir angin malam mengusap paras indahnya dengan lembut, membelai rambutnya dengan butiran air laut. Tampaknya, hari ini surya belum lelah tersenyum. Dipaksanya rembulan untuk juga tersenyum bahagia, sebahagia diriku. Sinarnya atas kapal-kapal yang bersandar amat terang, lebih dari biasanya. "Kau cantik," ucapku.  "Terima kasih." Berkat kebahagiaan surya dan rembulan, aku dapat melihat senyum tipis khas miliknya dengan jelas. Lesung pipi mempermanis wajahnya. "Bagaimana kabarmu?" tanyaku. "Baik, seperti biasanya," jawabnya. "Kau sendiri?" "Biasanya tidak baik. Tapi hari ini luar b