Abu Kelabu

Langit kembali menjadi kelabu -- suasana yang begitu sempurna untukku. Ketika sebagian besar orang segera mencari suaka untuk berlindung ketika langit menjadi kian abu-abu, tidak denganku. Langit kelabu seakan mengandung medan magnetik yang menarikku bercengkerama dengannya. Tiupan angin dengan segala benda yang diliputi embun menjadi daya tarik tersendiri bagiku.

"Chu?" Panggil ibuku. 
Sepertinya, upayaku untuk kabur di tengah cuaca yang tidak menentu ini terdeteksi ibuku. Semoga dia mengizinkan, semoga dia mengizinkan...

"Um, ya, Mom?" 

"Mau ke mana lagi? Chumani, ingat pesan ayahmu untuk menjaga diri, 'kan?"

"Lengket sekali di otakku, Mom. Jangan khawatir. Aku hanya butuh waktu sejenak di luar," aku menelan ludah. "Aku janji, sebelum hujan turun aku akan segera pulang."

"Hm, jangan kau ingkari lagi ucapanmu itu," kata Mom terdengar semakin pelan. Jelas saja, aku melangkah semakin jauh dari dirinya. Tetapi, suara Mom yang menggerutu jelas terdengar.

*

Hidup mempertemukanku dengan diriku yang sekarang. Aku yang mencintai hangat, jadi penggemar berat dingin. Aku yang merasa lebih hidup ketika matahari bersinar cerah, sekarang hidup ketika matahari bersembunyi di balik peraduannya. Aku yang dulu selalu merindukan kehadirannya. 

Kuhentikan langkahku di taman yang tak jauh dari rumahku, sekitar 100 meter. Taman tersebut berbatasan langsung dengan tebing yang tidak begitu tinggi dari tanah di bawahnya. Pemandangan hutan yang tertutup kabut terhampar begitu indah sejauh mata memandang. Namun, kini pemandangan tersebut sudah terhalang pagar pengaman, setelah terjadi kecelakaan sekitar enam tahun silam. 

Seperti hari-hari sebelumnya, tempat ini begitu sepi dan hampir tidak ada orang yang berkunjung. Aku mengambil tempat yang biasa kutempati, di balik semak-semak setinggi 50 sentimeter. Kakiku kubiarkan menggantung dan bertahan melawan gravitasi. Kupejamkan mataku, kubuka topiku, dan kubiarkan rambutku diacak-acak angin. Bulu kudukku berdiri sekujur tubuh. 

Ya, di sinilah aku bertemu dengan dirinya. Waktu itu, tiba-tiba dia duduk dalam diam di sebelahku. Mata kami sempat bertukar pandang dan terkunci sejenak. Pada saat yang sama, tangan kami secara tidak sengaja bertemu. Hangat, nyaman, dan sensasi yang tidak dapat dijabarkan dengan kata-kata menjalari tubuhku. Setiap kali bertemu dengannya, itulah yang kurasakan.

Namun, rasa itu perlahan mulai berkurang ketika hari demi hari dia tak lagi menunjukkan batang hidungnya. Entah ke mana angin membawanya datang dan pergi. Atau, apakah matahari yang mengajaknya bertahta dan kembali terbenam untuk bersinar di belahan dunia lainnya. Atau, gravitasi telah menariknya terlalu jauh ke tempat lainnya. 

Rindu, rindu, dan deretan rindu lainnya pernah menyelimuti hidupku. Jiwaku merindukan hangat yang mendekapku erat. Kini, aku telah bersahabat dengan rindu. Tak lagi kubiarkan rindu menguasai hidupku. Mungkin, ini saatnya aku berkawan dengan abu kelabu, yang membawa warna lain dalam hidupku. Cobalah berkawan dengan rindu, hatimu takkan seperih itu. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zebra Cross.

Surya dan Mentari

Oasis