Mentari [1]


Kalau mentari bisa tersenyum, pun dia bisa. Kalau mentari bisa menghangatkan bumi, pun dia bisa menghangatkan hariku. Kalau mentari adalah pusat tata surya kita, pun dia adalah pusat dari seluruh perhatianku. Dia adalah Mentari, seorang gadis yang meraih hampir seluruh sukmaku. Beruntung dia tidak meraih seluruh sukmaku, bisa mati aku.

Wajahnya bersinar setiap saat. Tak peduli subuh, pagi, siang, sore, bahkan malam, dia akan menyapamu ramah dengan senyum yang mengembang. Senyumnya tercipta oleh lengkung pada bibirnya dan mata indahnya. Kemurahan hatinya kian menyempurnakan makhluk ciptaan Tuhan yang satu ini.

Ada beberapa pria dengan keberaniannya secara terang-terangan mendekati Mentari. Katanya, mereka tak mau menyia-nyiakan kesempatan. Ada yang rajin menjadi penyedia konsumsi, ada yang rajin memberikan kado-kado, bahkan ada yang rela menjadi sopir pribadi Mentari. Namun, dari sirat mata Mentari, dapat kupastikan usaha mereka sia-sia. 

Selama ini aku hanya dapat melihat dirinya dari jauh. Aku dan Mentari sangat jauh berbeda. Mentari akan banyak beraktivitas dari pagi hingga sore hari, sedang diriku sore hingga malam hari. Meski jarang bertemu, aku tahu tentang dirinya lewat banyak orang. Mengidolakannya, sembari berharap suatu hari nanti aku dapat bercengkerama dan bertukar pikiran dengan dirinya. 

***
Senyum ceria adalah bagian utama dalam jiwa Mentari. Itulah yang sangat kunantikan ketika melihat dirinya, walau dari jauh. Dia tak pernah lelah menyapa setiap orang yang dia jumpai. Lengkap dengan penampilannya yang selalu bernuansa cerah, pastinya. Demikian pula dengan aksesorinya yang kian membuatnya selalu bersemangat. 

Tidak dengan hari ini. Secara tidak sengaja, alam mempertemukanku dengan Mentari. Dengan penuh keyakinan, gadis yang duduk manis di tepi pelabuhan sepi itu adalah Mentari. Postur tubuhnya mudah kukenali. Hari ini, dia tampil dengan setelan pakaian serta hoodie bewarna abu-abu. Rambutnya agak berantakan, tersimpan di balik hoodie tersebut. Sesekali, dia menyeka air matanya.

Sendiri, dia sendiri di sana. Sebuah kesempatan bagus yang dapat kuambil, seharusnya. Setelah mempertimbangkan cukup lama, kuputuskan untuk mengurungkan niatku. Belum saatnya, pikirku. Kukeluarkan buku sketsaku serta pensil dari dalam tas. Perlahan, kulukis Mentari dalam gelapnya malam. Walau kuhanya dapat melihatnya dari samping, setidaknya aku masih dapat menggambar siluetnya. Aku tak berhenti memuja kecantikannya.

***
Ya, pelabuhan memang adalah tempat hidupku sehari-hari. Aku menikmati suara debur ombak serta peluit kapal yang siap berlayar. Udara laut yang kuhirup membuat pikiranku hidup. Desir angin membuat tubuhku bersemangat. Cahaya bulan remang-remang ditemani bintang-bintang kecil, menjadi kawanku setiap malam.

Lembar demi lembar kuisi dengan lukisan tentang langit malam di tepi pelabuhan dari berbagai sisi. Ada kalanya, bulan purnama bersinar sempurna. Ada kalanya pula, bulan sabit mengintip di balik gulita. Bintang-bintang dan Bimasakti dapat terlihat jelas.

Namun, ada sesuatu yang berbeda akhir-akhir ini. Hari ini, hari kedelapan secara berturut-turut,  Mentari muncul di pelabuhan. Tujuh hari belakangan Mentari menghiasi buku sketsaku. Dari berbagai sudut pula, kutuangkan siluet Mentari. Ia seolah bersinar paling terang di antara obek-objek lainnya yang kulukis.

Setelah menenggelamkan diri di antara jutaan pertimbangan dalam pikiranku, kali ini aku akan berjuang menyingkirkan semuanya. Aku telah bertekad, hari ini aku harus menyapanya. Setidaknya, mengajaknya berbicara, atau kemungkinan paling buruk adalah diusir mentah-mentah. Kau harus beranikan dirimu, Pur.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zebra Cross.

Surya dan Mentari

Oasis