Senandika
Kutekuk
kakiku dengan rapi di depan tubuh mungilku. Kupeluk erat-erat kakiku, seolah
aku takut kehilangan suatu hal dariku. Kutempelkan sebagian wajahku pada
lututku. Sebagian tubuhku menempel pada dinding yang berdiri tegak untuk
menopang tubuhku. Mataku terpejam sangat rapat, teramat rapat bahkan. Ragaku di
sini, tapi entahlah ke mana larinya jiwa serta pikiranku.
Matahari
yang menembus lewat kaca jendela di ketinggian menghangatkan tubuhku, seharusnya. Nyatanya, tidak sama sekali.
Aku justru merasa dingin. Sekujur tubuhku terasa dingin, hatiku terasa beku. Sinar
sang surya yang biasanya merangsang senyumku, justru kini memacuku untuk
memusnahkan senyum itu. Tak ada sedikitpun minat untuk membangkitkan suasana
hatiku yang kacau.
Masih samar
proyeksi kebahagiaan yang tersimpan dalam skemata. Setidaknya aku pernah bahagia, hiburku dalam hati. Terlintas dalam
benakku, masa kecil tanpa beban – berlari mengejar gulungan kecil ombak, menari
di tengah teriknya siang, dan menghitung jumlah bintang pada kelamnya langit
malam. Hari demi hari aku terus menghitung, menghitung tiada henti menuju
tanggal lahirku. Menanti datangnya tumpukan kado di sekitar tilamku.
Tergerak
diriku untuk mengambil sebuah buku bersampul cokelat kusam di dalam laci. Kuraih
buku yang agak rapuh itu. Goresan tinta pena serta pensil memenuhi setiap
lembarnya. Setiap kuraba guratan demi guratan, yang terbangun adalah kenangan
demi kenangan yang menjadikan ‘aku’ yang sekarang. Jemari-jemariku seolah
bergantian menekan tombol play untuk
menampilkan rentetan pengalaman tersebut. Terselip pula beberapa lembar foto
yang menampilkan wajahku di masa lampau. Puas mengaduk-aduk masa lalu,
kukembalikan buku keramat tersebut pada singgasananya.
Aku kembali
meringkuk, merenungi segala hal yang sudah terjadi hingga napasku detik ini.
Kurasa, detik waktu terus bergulir dengan begitu cepat. Bak bola yang
dijatuhkan pada bidang miring yang curam, waktu berlangsung kian lama kian
cepat. Dalam mata yang terpejam, aku perlahan memungut semua peristiwa yang
pernah terjadi untuk kukoleksi dalam memori. Semuanya, tanpa terkecuali. Ada
momen yang melahirkan senyum, ada pula yang mematikan senyum.
Wajah
keluarga serta rekanku terlintas satu per satu tanpa terkecuali. Mereka semua
baik, tentu saja! Mana punya aku seorang kolega yang tidak baik? Memang, tidak
ada yang lepas dari cacat cela. Tapi merekalah yang menempa diriku hingga saat
ini. Walau, terkadang lebih mengasyikan untuk bercengkerama bersama tumpukan
novel yang selalu memahamiku, ketika mereka tidak mampu memahami batin ini.
Bawa kukembali! Jeritku dalam hati. Aku tidak
ingin berjalan terlalu cepat. Kalau bisa, aku ingin berjalan satu milimeter
saja setiap langkah. Aku tidak ingin beranjak terlalu cepat sebelum kuhabiskan
semua sajian pada era ini. Setidaknya, ingin kucicipi semua rasa yang
diciptakan oleh dunia, menikmati setiap sensasi yang mampu membentuk jiwa.
Komentar
Posting Komentar