Menapak Realita [1]
Muda, kuat, dan bebas. Itulah yang
kurasakan saat ini. Berjiwa muda dengan sejuta mimpi yang ingin diraih, tubuh
jasmani yang masih mampu melakukan berbagai hal sendiri, serta bebas melakukan
apa saja yang kuingin lakukan tanpa ada batasan. Namun, akhir-akhir ini aku
menyadari satu hal: benarkah jenis kehidupan ini yang sedang kujalani bersama
rekan sebaya?
Jika dilihat saat ini, ya, memang
itulah kehidupan yang sedang kujalani. Seolah tidak ada halangan yang merintang
keinginanku, selama keinginan tersebut adalah suatu hal yang baik. Tak lupa,
harus menjalani rutinitas sehari-hari. Sebagai seorang mahasiswa yang memiliki
kesempatan belajar yang luar biasa di antara 2% penduduk Indonesia yang mampu
berkuliah, tentu aku sangat bangga menjalani ‘rutinitas’ tersebut. Dengan
berbagai kebutuhan yang serba terpenuhi, aku dapat berfokus menempuh studiku.
Namun, satu hal kembali muncul dibenakku
beberapa hari lalu. Seorang kakak senior pembimbingku mengingatkan suatu hal
yang esensial, tapi seolah sudah lama terlupakan. Ya, hal tersebut adalah mimpi.
Ketika masih menduduki bangku Taman
Kanak-Kanak (TK) hingg Sekolah Dasar (SD), seolah mimpi tersebut sangat mudah
tercetus. Berbagai profesi terlontar begitu saja dengan mudahnya. Iringan ucapan
motivasi juga terus mengalir dari orang tua, keluarga, serta guru. Bersama
teman, saling membanggakan mimpi yang ingin kami raih.
Seiring berjalannya waktu, memasuki
jenjang Sekolah Menengah Pertama (SMP), aku tetaplah aku yang idealis dengan
berbagai mimpi yang ingin kucapai. Semua hal berat yang dikatakan oleh orang
lain terdengar dapat teratasi semudah membalikkan telapak tangan. Kukira, semua
remaja tanggung seusia SMP juga merasakan hal yang sama.
Semakin bertumbuh, ketika mencapai
jenjang akhir dari sekolah menengah – Sekolah Menegah Atas (SMA) – pemikiran mulai
berbelok. Dengan berbagai kebutuhan dan keinginan yang terus berlomba
mendapatkan porsi yang besar dari aspek pemenuhan, kita mulai kembali memutar
otak. Apakah dengan impianku kelak ini, aku akan mendapatkan banyak uang?
Apakah impianku ini dapat menghantarkanku pada pintu gerbang kemakmuran? Berdasarkan
pengalamanku, kebanyakan siswa SMA memiliki pola piker yang tak jauh beda.
Kini, ketika sudah berstatus
mahasiswa, alur pemikiran bertambah kompleks. Pada masa awal memasuki jenjang
perguruan tinggi, berbagai bimbingan mahasiswa baru (maba) sedikit banyak
menyadarkan pada realita yang akan dihadapi, dan mulai merancangkan mimpi yang ‘lebih
realistis’. Namun, seiring berjalannya waktu, pemikiran tentang impian tersebut
sekali lagi harus terkubur oleh suatu hal terdiri dari sembilan abjad: R-U-T-I-N-I-T-A-S.
Tanpa kita sadari, rutinitas
memendam semua pemikiran kita tentang masa depan. Rutinitaslah yang menjebak
kita pada kegiatan-kegiatan tersusun selama 24 jam dalam sepekan. Kesibukan
demi kesibukan yang selalu memadati menenggelamkan kita pada kehidupan saat
ini, tanpa sambil memikirkan tujuan hidup serta impian kita ke depannya.
Jadi, siapakah pihak yang paling
bertanggung jawab atas penjebakan kita pada rutinitas?
Komentar
Posting Komentar