Hampa
Kenapa kehampaan ini lagi-lagi menyerbu relung
hatinya?
Otaknya berpikir keras seminggu
terakhir. Tak ada karya yang mampu dihasilkannya, entah tulisan ataupun potret
foto. Baginya, menulis adalah separuh napasnya. Seminggu ini ia tak menulis –
berarti ia sudah kehilangan napasnya seminggu terakhir. Baginya, memotret
adalah tatapan matanya. Seminggu ini ia tak memotret – berarti sepekan sudah ia
menutup matanya rapat-rapat.
Banyak pekerjaan yang menanti untuk
diselesaikan. Namun, hingga kini, tak ada satupun pekerjaan yang mampu ia
selesaikan. Lelah. Hanya itu yang dirasakannya. Seolah, ada beban ribuan ton
yang menimpa pundaknya, dan ia tak mampu menahan beban itu lagi. Sungguh, ia
terlampau lelah untuk memikirkan apa yang sedang terjadi pada dirinya saat ini.
Ia terus mengetik di depan layar
laptopnya, entah apa yang ia ketik. Tidak ada kalimat yang lengkap, tidak ada paragraf
yang koheren. Sempurna. Ya, sempurna kekacauannya. Ada rasa sesak yang terus
menghimpit dadanya. Ada air mata yang tertahan di pelupuk matanya. Seolah ada
perekat yang merekatkan bibir atas dan bibir bawahnya, hingga tak ada
sedikitpun energi untuk menciptakan celah di antara bibir atas maupun bawah.
Ketika ia memejamkan matanya, dunia
terasa kian gelap. Seharusnya, jutaan imajinasi langsung muncul dalam
kepalanya. Namun, kini yang ia rasakan hanya perih yang kian dalam. Sampai
kapan ia harus menahan rasa perih itu? Tak sebanding memang, rasa perih yang ia
alami ini. Mungkin, bagi sebagian orang, rasa perih ini hanyalah rasa perih
yang tercipta karena gigitan nyamuk. Sedang, baginya, rasa perih ini tercipta
karena tak adanya rasa percaya. Siapa yang dapat dipercaya? Tidak, tidak ada. Satupun
tidak.
Untuk
apa punya kawan, jika mereka mengacuhkanmu? Jeritnya dalam hati. Di luar,
ia tampak bahagia, seolah segala hal berjalan dengan lancar tanpa hambatan. Ia
tak ingin orang lain tahu apa yang salah dengan dirinya. Mungkin, cukup coretan
kertas yang mengetahuinya. Toh, orang lain takkan pernah bisa memahaminya,
bukan? Toh, orang lain juga menilai dirinya selalu salah, bukan? Biar rasa hampa ini terus menggerogotinya perlahan, sembari ia berusaha
bertahan melawan rasa kehampaan ini.
Sungguh, ia butuh pundak untuk
bersandar saat ini. Ia butuh tangan yang siap mendekapnya dalam pelukan hangat
yang menenangkan. Ia butuh jemari yang mengusap gerai air mata yang siap
ditumpahkan. Ia butuh seseorang yang dapat ia percayai 100%.
Ia menutup layar laptopnya, kemudian
merapikannya. Segera, ia meringkuk kembali di balik selimutnya yang hangat. Sejenak,
ia berharap dapat lenyap dari dunia dan kembali ketika keadaannya membaik. Andai saja.
Apalah arti tawaran dunia yang menyenangkan itu,
kalau pada akhirnya ia hanya menyisakan rasa hampa?
Komentar
Posting Komentar