Postingan

Menampilkan postingan dari Maret, 2017

Bintang

Sendiri lebih baik, pikirnya                 Di antara jutaan bintang dalam satu gugusnya, ia memang lain dari yang lain. Ketika hampir seluruh bintang tersebut berkumpul pada posisi tertentu, ia memilih untuk sendiri. Entahlah, ia tak ingat bagaimana kelahirannya. Ia tak ingat, apakah ia yang memilih untuk sendiri, atau sebaliknya ia memang terlahir untuk sendiri.                 Tak selamanya ia sendiri. Siklus rotasi yang dijalaninya di angkasa luas sesekali membuatnya berjumpa dengan beberapa rekan. Beberapa rekan membuatnya merasa berkelompok ternyata mengasyikan. Beberapa rekan justru membuatnya merasa sendiri adalah hal yang terindah yang dianugerahkan semesta kepadanya.                                Kala takdir menciptakanku                 Melahirkanku ‘tuk beradu                 Melawan gelap yang menyelimutiku                 Kutahu kumampu                 Karena takdirlah yang membawaku                 Kesendirian mengajarkannya untuk berimajinasi. T

Kilat di Ujung

Sebuah tatapan terarah padaku dengan begitu tajam. Aku mengenal tatapan itu, bisik hatiku. Pemilik tatapan itu – seorang pemuda – masih berdiri di ujung jalan. Perawakannya tinggi besar, dengan rambut gaya terkini – entah aku tak tahu apa nama jenis rambut tersebut – dan pakaiannya juga menunjukkan bahwa kini ia bertumbuh kian dewasa dengan pakaiannya yang tampak formal. Lepas dari semuanya, ada suatu hal yang membuatku tak asing – tatapannya. Sebuah tatapan yang membawaku bernostalgia pada kejadian tujuh tahun lalu. ***                 “Iya, kamu!” bentak seorang kakak kelas. Wajahnya begitu garang, membuatku ketakutan. Merasa tak dipanggil, aku menoleh ke sisi kanan dan kiriku, mencari-cari siapakah yang dimaksudkan oleh kakak senior ini.                 “Hei, kamu! Yang lagi nolah-noleh itu!” Astaga, benarkah diriku yang dimaksudnya? Kutunjuk diriku sendiri dengan jari telunjuk kananku. “Iya, kamu! Nggak usah nolah-noleh terus kamu!”                 Reflek, mera

Menapak Realita [2]

Dengan tegas kusampaikan pendapatku bahwa yang paling bertanggung jawab atas penjebakan diri kita sendiri pada rutinitas adalah diri kita sendiri. Ya, DIRI KITA SENDIRI. Bagiku, rutinitas bukanlah suatu hal yang dapat disalahkan sebagai suatu yang memerangkap kita. Sebaliknya, kita sendirilah yang tanpa kita sadari memerangkap diri dalam rutinitas. Dan, parahnya, kita memerangkap diri kita dalam rutinitas yang tidak membangun masa depan.   Bagiku, kita tidak dapat munafik dengan berkata kita bisa hidup dalam rutinitas. Bangun pagi, menggosok gigi, kemudian mandi adalah bentuk kecil dari rutinitas. Jadi, hiduplah dalam rutinitas yang dapat membangun masa depan. Rutinitas yang baik akan membentuk pondasi yang baik bagi berdirinya bangunan masa depan kita. Dengan kata lain, melalui rutinitas tersebut kita akan berpindah dari satu titik ke titik lainnya secara vertikal. Sebaliknya, rutinitas yang ‘biasa’ akan membawa kita hanya bergeser dari satu titik ke titik lainnya secara horizonta

Menapak Realita [1]

Muda, kuat, dan bebas. Itulah yang kurasakan saat ini. Berjiwa muda dengan sejuta mimpi yang ingin diraih, tubuh jasmani yang masih mampu melakukan berbagai hal sendiri, serta bebas melakukan apa saja yang kuingin lakukan tanpa ada batasan. Namun, akhir-akhir ini aku menyadari satu hal: benarkah jenis kehidupan ini yang sedang kujalani bersama rekan sebaya? Jika dilihat saat ini, ya, memang itulah kehidupan yang sedang kujalani. Seolah tidak ada halangan yang merintang keinginanku, selama keinginan tersebut adalah suatu hal yang baik. Tak lupa, harus menjalani rutinitas sehari-hari. Sebagai seorang mahasiswa yang memiliki kesempatan belajar yang luar biasa di antara 2% penduduk Indonesia yang mampu berkuliah, tentu aku sangat bangga menjalani ‘rutinitas’ tersebut. Dengan berbagai kebutuhan yang serba terpenuhi, aku dapat berfokus menempuh studiku.

Hampa

Kenapa kehampaan ini lagi-lagi menyerbu relung hatinya?             Otaknya berpikir keras seminggu terakhir. Tak ada karya yang mampu dihasilkannya, entah tulisan ataupun potret foto. Baginya, menulis adalah separuh napasnya. Seminggu ini ia tak menulis – berarti ia sudah kehilangan napasnya seminggu terakhir. Baginya, memotret adalah tatapan matanya. Seminggu ini ia tak memotret – berarti sepekan sudah ia menutup matanya rapat-rapat.             Banyak pekerjaan yang menanti untuk diselesaikan. Namun, hingga kini, tak ada satupun pekerjaan yang mampu ia selesaikan. Lelah. Hanya itu yang dirasakannya. Seolah, ada beban ribuan ton yang menimpa pundaknya, dan ia tak mampu menahan beban itu lagi. Sungguh, ia terlampau lelah untuk memikirkan apa yang sedang terjadi pada dirinya saat ini.