Andai.
Sore itu membawa langkah kakinya
menjauh dari peradaban untuk sementara. Entah bagaimana ceritanya sepasang kaki
itu membawa dirinya pergi ke suatu tempat. Menyepi, sendiri. Menikmati suara
alami yang ia rindukan. Menenangkan pikirannya dari berbagai carut-marut tugas
duniawinya.
Tak
banyak hal yang ia lakukan. Hanya duduk seorang diri ditemani oleh hewan-hewan
kecil yang sering kali lepas dari pantauan mata – semut, belalang, jangkrik,
dan kawan-kawannya. Biasanya ia merasa risih dengan kehadiran hewan-hewan kecil
itu, yang membuatnya merasa geli sendiri, entah mengapa. Namun hari ini, seolah
ia telah bersahabat dengan kawan-kawan kecilnya.
Rambut
lurusnya yang tadi rapi mulai diacak-acak oleh angin yang bertiup pelan. Membelainya
dengan lembut. Matanya terpejam. Dalam pandangan yang gelap, ia mampu merasakan
belaian itu. Ia merasa seolah tangan
pemuda itu sedang membelainya lembut dan penuh kasih. Senyumnya otomatis
terlukis dalam wajah cantiknya. Sesaat, ia juga merasakan kehadiran pemuda itu
di sini. Disebelahnya. Ketika ia membuka matanya perlahan, fantasinya
menghilang. Ya, andai saja ia di sini
menemaniku, pikirnya.
Kini
giliran rerumputan tinggi di sisi kanan dan kiri yang menggoda ingatannya.
Gesekan lembut antara kulitnya dengan rerumputan membuatnya kembali berfantasi.
Sekali lagi, ia memejamkan matanya, dan senyuman mulai terukir dalam hitungan
detik. Ia merasa seolah gesekan rerumputan itu adalah tangan pemuda itu yang
mengusapnya pelan, memberinya sejuta sensasi yang sulit untuk dijelaskan dalam
kata-kata. Ketika ia membuka matanya perlahan, fantasinya menghilang. Ya, andai saja ia di sini menemaniku,
pikirnya lagi.
Semilir
angin yang tak henti menggodanya membuatnya merasa kantuk. Perlahan, ia mulai
merasa kantuk. Matanya terpejam. Tanpa ia sadari, tubuhnya sedikit miring ke
kanan. Kesadarannya masih setengah, membuatnya tidak terjatuh ke atas tanah. Untuk
sekian detik, ia merasa mampu menahan tubuhnya dalam posisi tersebut.
Membayangkan seolah ia sedang bersandar pada pundak pemuda itu yang terasa
tangguh namun pas untuk menahan kepalanya. Tidak, untuk sementara ia tak ingin
membuka matanya. Ia belum ingin fantasinya menguap bak air mendidih.
“Aku
di sini, buka matamu.”
Ia
mulai merasa aneh. Ya, rindu mungkin adalah kata yang tepat untuk mewakili
perasaan batinnya kini. Bagaimana tidak rindu, jika tiba-tiba ia mampu
mendengar suara pemuda itu berbisik tepat di telinganya dengan nada suara yang
mampu menyembuhkan rindu. Fantasi dan rindu tak pernah salah, sedikit pun
tidak. Walau merasa ada sesuatu yang janggal, ia tetap memejamkan matanya. Ia
masih ingin mempertahankan fantasinya yang sangat manis, indah, dan luar biasa.
“Aku
di sini, sayang.”
Mungkin
kini ia harus mengakui rasa rindu itu. Berhenti mengelaknya. Ia mulai menyadari
bahwa ia tak lagi memiliki kekuatan untuk menyangkal rasa yang sudah lama
bersarang dalam hatinya. Suara pemuda itu sungguh… seolah memiliki daya yang
mampu membuatnya membuka matanya.
Tak
ada yang ia lihat atau jumpai. Kosong.
Tak ada perubahan sedikitpun selain gerakan dari dedaunan serta rerumputan di
sekitarnya. Selebihnya, tak ada yang berubah. Ia menarik napas, kemudian
menghembuskannya dengan pelan. Bersahabat dengan alam, yang membuatnya mampu
mengungkapkan rasa yang membuatnya masih terus bertanya-tanya.
Apakah
ia benar merindukan pemuda itu? Seberapa besar rindu itu? Apakah rasa rindu ini
hanya sebatas teman, sahabat, saudara, atau bahkan lebih dari itu?
Ia
benci dalam keabu-abuan ini. Keabu-abuan yang sudah lama mengisi batinnya yang
tak lagi membuatnya peka dengan sebuah rasa yang mampu menghadirkan sejuta
sensasi. Kali ini hatinya tak lagi mampu untuk mengenali rasa yang sebenarnya
membungkus hatinya secara perlahan. Namun ia tahu jauh dalam batinnya ia sedang
merindu seorang – pemuda itu.
Ia
mulai bangkit dari tempatnya. Sekali lagi memejamkan matanya, mengulang segala
fantasinya secara cepat bak film tanpa suara. Kurang dari dua menit ia
menikmati fantasi itu, kemudian membuka matanya pelan-pelan, dan sekali lagi
menarik serta menghembuskan napasnya.
“Aku
merindukanmu. Ya, aku merindukanmu!” jeritnya tanpa peduli jika ada orang yang
mendengarnya.
Ia
berhenti sejenak, hanya bunyi-bunyian alami yang mengisi suasana hening itu.
Sampai akhirnya, ia menyebutkan sebuah kata dengan enam huruf yang sangat susah
untuk diucapkan bibirnya untuk menutup kalimatnya. Sebuah kata yang mungkin
melambangkan bagaimana perasaannya terhadap pemuda itu.
“S-A-Y-A-N-G!”
[]
[]
Komentar
Posting Komentar