the Twilight [1]
Ia terus
tersenyum sendiri setiap kali teringat akan hari itu. Sabtu yang berawan, matahari berselimutkan awan, dan suasana
alam yang begitu menyenangkan. Sore itu, ia mampu mendengar bunyi-bunyian
alami. Nyanyian burung, senandung pepohonan yang ditiup angin, serta gemericik
air pada sebuah kolam kecil. Pemandangan sekitar tampak hijau dan sangat luas.
Suasana tenang dan nyaman benar-benar meliputinya kala itu. Bersama dia.
Sore itu, ia mampu bersyukur pada
Tuhan. Bersyukur atas alam yang sangat luar biasa. Bersyukur atas tempat indah
yang boleh ia kunjungi. Bersyukur atas pemandangan yang sangat memanjakan
matanya. Bersyukur untuk udara sangat segar yang sudah lama tak dihirupnya. Bersyukur
atas dia, yang menemaninya sore itu.
“Aku ingin menunjukkanmu suatu
tempat yang indah,” kata pemuda itu.
“Seindah apa?” tanya gadis itu
dengan antusias.
“Sudah, tak usah banyak bertanya. Yang
penting, ikuti aku saja,” pemuda itu menarik tangan gadis di sampingnya,
membawa gadis itu dalam gandengannya.
Gadis itu menatap pemuda itu
beberapa detik. Ia cukup kaget, namun kemudian, ia hanya tersenyum tipis, dan
mengikuti pemuda itu yang melangkah lebih cepat dari dirinya. Tanpa ia sadari,
pipinya memerah hingga ia menunduk agar pemuda itu tak melihatnya. Ia juga
merasakan jutaan kupu-kupu menari secara bersamaan dalam perutnya pada saat
itu, entah mengapa. Tangan pemuda itu seolah memang tercipta hanya untuk
dirinya seorang, bukan yang lain. Tangan itu menggegamnya kuat, seolah ia
takkan membiarkan gadis itu terpeleset, apalagi terjatuh. Gadis itu berharap, semoga
tangannya juga tak berkeringat dingin karena perasaan yang meliputinya kini.
Tempat itu cukup jauh dari pusat
kegiatan. Tidak benar-benar jauh. Sekitar 10-15 menit ditempuh dengan berjalan kaki,
dengan jalanan yang tidak rata. Cukup melelahkan.
“Tempat apa yang akan kita kunjungi?”
tanya gadis itu dengan penasaran.
“Tempat yang sangat indah dan aku
yakin kau akan menyukainya,” kata pemuda itu lagi. “karena kau bisa mengambil
foto sebanyak mungkin yang kau mau.”
Begitu mendengar kata ‘foto’, gadis
itu tampak sangat bahagia. Ya, gadis itu pencinta fotografi. Tiada tempat yang
tidak pernah dipotretnya. Segala tempat tampak menarik untuk dijadikan objek
foto. Tak hanya tempat, berbagai benda, baik benda hidup maupun mati, tak luput
dari lensa kameranya. Sayangnya, kali ini ia tak membawa serta kameranya. Ditemani
oleh kamera ponselpun, ia sanggup berburu keindahan yang memanjakan mata,
terutama keindahan alam.
“Benarkah aku bisa berfoto sebanyak
mungkin?” tanya gadis itu lagi dengan mata berbinar-binar. Raut wajahnya jelas
menggambarkan ia bahagia. Sangat bahagia malah.
Pemuda itu menatap gadis bertubuh
sepundaknya dengan tersenyum. “Tentu saja. Puaskan saja keinginan fotografimu,”
katanya. Melihat senyuman gadis itu yang kian mengembang, pemuda itu merasa
sangat bahagia. Entahlah, kebahagiaan gadis itu mampu membuatnya bahagia juga.
Gandengan tangan yang sedari tadi
sudah terlepaskan menciptakan suatu formasi yang baru. Tanpa ia sadari, pemuda
itu melingkarkan tangannya pada bahu gadis itu, dan menarik gadis itu mendekat
pada tubuhnya.
Sekali lagi, gadis itu berhenti
sejenak, menatap mata pemuda itu dengan jelas.
Pemuda itu cukup kaget bagaimana tangannya dengan
berani merangkul gadis itu. Perasaan itu memang tumbuh, namun tidak seharusnya
ia melakukan tindakan demikian di hadapan gadis itu. Gadis itu bahkan belum
tentu punya perasaan yang sama terhadapnya. Kini, ia telah siap dengan berbagai
resiko yang akan dihadapinya. Termasuk jika gadis itu marah padanya, atau lebih
parah akan meninggalkannya.
Gadis itu cukup kaget tiba-tiba ia
mendapatkan sebuah rangkulan, yang bahkan tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Namun
satu hal yang ia rasakan pada saat itu, kenyamanan. Sangat sempurna. Lagi-lagi
ia merasa seolah rangkulan dari pemuda itu hanya tercipta untuknya seorang. Diam-diam,
ia berharap bahwa ia dapat merasakan rangkulan itu lebih lama lagi. Namun,
jelas ia bersikap sewajar mungkin dihadapan pemuda itu.
Semesta sedang berpihak pada pemuda
itu. Tatapan gadis itu tak lama kemudian berubah menjadi tatapan yang sangat
bahagia. Tanpa pemuda itu sadari juga, gadis itu melingkarkan tangan pada
pinggangnya dengan erat. Sekali lagi gadis itu menatap matanya dengan binar
mata yang sangat sempurna. Kemudian, gadis itu menempelkan kepalanya pada dada
pemuda itu.
Tak ada kata yang mampu
menggambarkan perasaan itu pemuda itu pada detik itu. Ia menatap gadis yang
sedang menempel pada tubuhnya dengan penuh kasih. Hanya rasa bahagia yang ia
rasakan pada saat itu. Ia berusaha keras mengendalikan dirinya, agar gadis itu
tak mendengar degup jantung yang berdetak berlipatkali lebih cepat dibandingkan
biasanya.
Ia mempererat rangkulannya pada
gadis itu, dan berjanji pada dirinya sendiri,
Aku
takkan membiarkannya sedih, ataupun menangis. Aku ingin menjaga dan
melindunginya. Aku ingin membahagiakannya, dengan caraku sendiri. Aku ingin
menyayanginya dan mencintainya setulus hati, sampai pada akhir.
Ps: To be continue.
reee awesome :')
BalasHapus