Aku, Kau, dan Sang Lunar
Langit cerah tak berawan adalah suatu anugerah yang istimewa
untukku. Setidaknya untuk malam ini. Akhirnya, populasi awan di troposfer
berkurang. Kuambil kameraku yang lama tak kugunakan, dan kuarahkan lensanya ke
langit, berharap menemukan suatu objek yang dapat kupotret. Beruntung sekali,
akhirnya ia keluar dari persembunyiannya setelah sekian lama.
Purnama itu tetap sama bentuknya. Dari lapisan litosfer ini,
tampak bulat sempurna dengan pancaran cahaya kuning keemasan yang mempesona. Ya,
aku selalu memuji kecantikan Sang Dewi Malam karena penampilannya itu. Tak
sempurna, penuh lubang oleh meteor yang menghujamnya. Namun dibalik
ketidaksempurnaannya itu, justru ia mampu memukau penduduk bumi dan bahkan
membuat penduduk bumi sering kali menantikan kehadirannya. Mungkin saja
penduduk planet lain juga demikian, siapa tahu?
Tetapi, ada satu rasa keheranan yang kerap membayangiku.
Bagaimana bisa seseorang menjadi gundah gulana ketika satelit bumi itu berada
pada fase sempurnanya? Menurutku, hanya orang lebay yang merasa demmikian. Hanya kalangan tertentu yang mudah
merasa galau dengan adanya fase-fase alamiah yang terjadi pada bulan. Mungkin
mereka yang menjalani hubungan jarak jauh, tapi entah bagaimana ada keterkaitan
antara perasaan pribadi mereka dengan fase bulan. Mungkinkah hal itu sama
seperti bagaimana gravitasi bulan memengaruhi besarnya gelombang laut yang
terjadi?
Itu secuil kisah tetang penasaranku dulu, sebelum kejadian
itu terjadi. Akhirnya kini aku tahu
seperti apa rasanya dibuat risau oleh Selenic. Bak sebagian jiwa ini melayang,
dan sebagian dari hati ini tercuil pada saat yang bersamaan. Ada rasa kalut yang
menggelayuti saat malam itu ketika aku memandang bulan. Ada rasa kehilangan
yang teramat dalam seolah tak ada yang mampu mengisi kekosongan itu.
Sungguh, tak sepatutnya aku merasakan hal demikian – rasa kehilangan
itu. Tak pantas dan tak layak sama
sekali. Memang, siapakah diriku yang memiliki hak untuk menahan kepergiannya?
Sialnya, rasa itu muncul begitu kuat dan menghantui pikiranku. Bahkan, ia
sempat muncul dalam mimpiku.
Kau hadir dengan
sangat nyata dalam mimpiku, seolah kau memang hadir saat itu. Kau datang
menghampiriku ketika aku sedang lelah akan berbagai rutinitasku saat itu. Kau
datang dengan senyuman yang terlukis di wajahmu. Kau sebut namaku dengan suara
yang mendalam, sangat berwibawa. Dan dalam hitungan detik, aku sudah berada
dalam dekapan pelukan hangatmu yang menyingkirkan semua rasa lelah. Seketika,
serasa hanya kau dan aku yang berpijak di atas planet ini.
Hanya mimpi manis
yang mempercantik malamku. Mungkin bisa
terjadi, mungkin juga tidak. Semoga yang terbaik yang terjadi di antara
kita.
Sekarang, setiap kali aku melihat bulan, yang terbayang
dibenakku hanyalah wajahnya dan kenangan yang telah kami rajut bersama. Sungguh,
tidak ada penyesalan sedikitpun akan memori yang mengisi hari-hariku tersebut.
Tidak ada penyesalan juga kalau kita pernah bertemu, kenal, dan menjadi dekat.
Namun, yang pasti, sekarang segala sesuatu takkan terasa sama lagi. Tanpa dia. Karena kini kau tak lagi
sekadar menjadi bagian dari kenangan manis-pahitku, tapi kau juga menjadi
bagian dari inspirasiku.
– September 2016
Komentar
Posting Komentar