1000 Camelia [part 11]
3 bulan kemudian
Elena sangat
bersemangat hari ini. Akhirnya, hari yang dinantikannya telah datang – masa
kuliah. Lebih tepatnya, kembali bersekolah. Elena sudah tidak tahan lagi
berlama-lama di rumah. Pekerjaannya sebagai penulis dan fotografer freelancer belum cukup membuatnya merasa
benar-benar produktif. Lagi pula, ia juga sudah tidak sabar mendapatkan
teman-teman baru.
“Wih, adikku sudah gede.” Elvira
tiba-tiba masuk kamar Elena ketika Elena merapikan pakainnya di depan kaca. “Sudah
kuliah, ciye.”
“Apaan sih, Vir. Berarti sudah tua
dong kamu.” Kata Elena tanpa sedikit pun menoleh ke arah Elvira.
“Enak aja tua.” Gumam Elvira. “Ayo,
cepet. Sudah keburu nih. Katanya kuliah jam delapan? Sekarang sudah jam 7.15.”
“Iya kak, iya.”
Elena mengambil tasnya, kemudian
melesat mengejar Elvira yang sudah turun ke lantai satu terlebih dahulu. Bahkan,
Elvira sudah siap dalam mobilnya. Ya, dihari pertama ini, Elena akan diantarkan
Elvira. Entah ada malaikat mana yang memberikannya hati yang baik pagi ini.
Baru saja Elena akan membuka pintu
mobilnya, terdengarlah klakson mobil yang dibunyikan sekali. Elena kaget begitu
melihat siapa yang ada dibalik kemudi.
“Lho, Van?” Saking kagetnya, Elena
sampai tidak menyadari Elvira sudah berdiri di sampingnya – tidak lagi di dalam
mobil.
“Elena barengan aku aja, Vir.
Sekalian.” Kata Evan.
“Oke, Van.” Elvira tersenyum.
“Cepatan, Len! Jangan lemot dong.”
“Bye, Vir!” kata Elena.
Tak banyak
perbincangan berarti di antara Elena dan Evan sepanjang perjalanan menuju
kampus. Setelah sekian lama tidak berkendara berdua, akhirnya kesempatan itu
datang juga bagi Evan. Setidaknya kali ini ia bisa mengenal Elena jauh lebih
dalam lagi. Meski sudah bersahabat lama, Evan merasa ada hal-hal tertentu yang
ia belum ketahui tentang Elena. Entahlah hal apa itu.
Sesekali Evan melirik Elena.
Tatapannya selalu ke depan. Biasanya hal tersebut bukanlah hal penting untuk
dipikirkan. Tapi, semenjak rasa itu
datang merasukinya, hal tersebut menjadi hal penting untuk dipikirkan.
“Oh iya omong-omong, Van,” Elena akhirnya menatap Evan. “Gimana kabarnya
Alan? Sudah lama nggak ketemu dia.”
Kenapa
tanya tentang Alan, pikir Evan. Tanpa ia sadari, ia memukul setirnya pelan.
“Van?” tanya Elena sekali lagi.
“Kamu kenapa sih?”
“Nggak kenapa-kenapa, kok.” Evan
tersenyum masam. “Tadi apa? Alan? Oh dia sedang sibuk beberapa bulan ini. Aku
juga jarang ketemu dia. Terakhir ketemu hampir dua minggu yang lalu. Itupun
secara nggak sengaja.”
“Kalian ‘kan satu jurusan. Tadi kok
nggak berangkat barengan aja?” tanya Elena.
Karena
aku hanya ingin berdua sama kamu, kata Evan dalam hatina. Evan tidak tahu apa
yang harus ia katakan pada Elena. Benar apa yang dikatakan Elena. Seharusnya ia
mengajak Alan juga. Apalagi, Evan yakin kalau Alan belum hafal betul jalanan di
Surabaya ini. Perkataan Elena menyadarkan Evan mengenai sesuatu.
Ia telah berubah menjadi seorang
yang egois.
***
Alan
meletakkan cangkirnya setelah menyesap kopi panas itu sedikit. Ia terus
mendengarkan Evan yang semenjak tadi tidak berhenti berbicara. Dari permintaan
maaf karena tidak mengajaknya bersama saat berangkat kuliah pagi tadi, membahas
sedikit tugas awal kuliah, sampai pada satu topik – sudah diduga Alan
sebelumnya – yang menjadi muara.
“Oke,
aku sudah selesai bercerita.” Kata Evan pada akhirnya, lalu ia meminum chocolate milkshake-nya.
Alan
melihat jam tangannya, kemudian menekan sebuah tombol kecil. “Well, dua puluh tujuh menit tiga belas
detik.”
“Selama
itu?” Evan hampir tersedak. “Sekarang giliranmu, Lan.”
“Oke,
aku akan menjawab satu-satu.” Kata Alan. “Yang pertama soal pagi tadi, bukan
masalah besar. Tadi aku juga berangkat lebih pagi. Ada urusan. Kemudian, untuk
tugas, kita bahas nanti saja. Aku belum menemukan ide sama sekali. Lalu,
tentang Elena… Kamu kenal Elena sudah lama, Lan. Kalian sudah sahabatan
bertahun-tahun. Tentu saja kamu tahu jauh lebih banyak tentang Elena
dibandingkan aku.”
“Iya
memang aku lebih lama mengenal dia. Tapi aku merasa ada sesuatu yang
disembunyikan dari Elena, Lan.”
“Mungkin
hanya perasaanmu saja, Van. Aku tidak mau ikut campur terlalu banyak.” Akhirnya
Alan memberanikan diri untuk mengatakan hal ini pada Evan. “Bukannya aku tidak
mau, tapi nanti bakal nggak enak kalau Elena tahu, bukan begitu, Van?”
beruntung sekali otak Alan berkompromi dengan segera menemukan alasan yang
tepat.
Evan
diam sejenak dan berpikir. “Benar juga.”
“Kalau kamu memang mau
memperjuangkan cinta Elena, kamu nggak boleh gampang nyerah, Van. Aku yakin
kamu bisa.” Semoga bisa menaklukan
hatinya.
***
Komentar
Posting Komentar