1000 Camelia [part 10]
Pemandangan di
perpustakaan itu cukup menyakitkan bagi Evan. Alan dan Elena tampak sangat
akrab. Padahal, setahu Evan, Elena tidak bisa langsung akrab dengan laki-laki.
Pasti ada kecanggungan, sikap dingin, dan cuek pada awalnya – seperti yang ia
lakukan pada Evan dan Joan pada awalnya.
Tidak,
aku tidak boleh berpikiran aneh-aneh, kata Evan pada dirinya sendiri. Alan
sudah ia beritahu mengenai perasannya pada Elena. Ia yakin seratus persen Alan
tidak berusaha membuat Elena terpesona padanya. Tapi Evan tidak akan pernah
melarang Elena dan Alan untuk tetap bersahabat.
Satu kalimat ternyata cukup untuk
memastikan bahwa Alan sudah menyukai Sofia, sahabat Elena. Semoga satu kalimat
itu membuat Elena hanya ‘melihatnya’, tidak ‘melihat’ yang lain. Mungkin ini
tidak adil dan terkesan egois. Tapi ini urusan hati.
Siapa pula yang mau mengalah untuk
urusan hati? Mungkin hanya satu di antara seratus ribu orang.
***
Alan
suka sama Sofia.
Entah mengapa, kalimat yang
terbentuk dari empat kata itu serasa menonjok hati Elena. Kalimat itu meluncur
secepat anak panah yang dilepaskan oleh pemanahnya – Evan.
Elena berbaring di atas kasur
kesayangannya. Biasanya, begitu ia berbaring, semua beban pikirannya langsung
hilang dan dalam hitungan menit ia sudah tertidur. Kali ini, kalimat itu mengusik pikirannya, mengganggu jam
tidurnya.
Elena tidak tahu mengapa ia bisa
merasakan sedemikian sakit ketika mendengar kalimat itu. Ia berharap kalimat
itu hanyalah mimpi buruknya, bukan kenyataan. Elena mendesah pelan, kemudian
melangkah ke meja belajarnya dan mulai menuliskan semua perasaannya.
Aku
tidak tahu apa yang terjadi pada diriku. Semuanya terasa berjalan sangat cepat,
terlalu cepat bahkan. Apakah ada perasaan yang tumbuh? Perasaan yang
sebenarnya, atau hanya perasaan semu belaka? Tapi, jauh dalam hatiku aku merasa
ada kenyamanan yang luar biasa ketika berada di dekatnya.
Ia
memang bukanlah seorang yang secara fisik kuinginkan. Tepatnya, aku tidak
pernah membayangkan ia sebagai orang yang akan mengisi kekosongan hari-hariku.
Kini, aku mulai sadar bahwa aku mulai terpesona dengan dirinya – senyuman,
caranya berbicara, pemikirannya – segalanya.
Apakah
bibit perasaan ini telah jatuh di ladang yang salah? Ya, mungkin jawabannya
adalah iya. Mungkin sahabat adalah jalan yang paling terbaik. Mungkin aku
terlalu muda untuk memahami apa yang lebih dari sekadar sahabat.
Semoga
dia dapat berbahagia dengan pilihannya, dengan cintanya.
Elena menutup buku hariannya, dengan
menyelipkan setangkai Bunga Camelia yang dibelinya sebelum ia pulang tadi.
Biarkan Bunga Camelia ini yang menjadi saksi bisu atas kebimbangan yang
menyerbu hatinya.
***
Alan tidak menyangka sahabatnya akan
berkata demikian demi mengarahkan perhatian gadis idamannya padanya. Mungkin
itu juga kesalahannya – memberitahu orang lain ketika hatinya sendiri pun belum
mantab memijak. Ia sendiri juga bingung mengapa Evan mengatakannya pada Elena.
Memangnya Evan menganggap Alan ingin merebut Elena? Tidak, tentu saja tidak.
Kini, Alan sadar bahwa perasaannya
terhadap Sofia hanyalah sekadar persahabatan saja. Ia sadar telah memberitahu
pada Evan secepat itu. Padahal biasanya, untuk urusan hati, Alan sangat
berhati-hati agar tidak salah melangkah.
Biarlah saja, pikir Alan. Biarkan
saja Evan berusaha mengambil hati Elena. Memang itu ‘kan tujuannya? Semoga ia
berhasil merebut hati Elena. Toh, dengan begitu usahanya untuk mendekatkan Evan
dan Elena semakin berkurang.
Setelah
beberapa hari, Alan sadar sesuatu. Adalah sebuah kesalahan besar yang
dilakukannya untuk menyetujui ‘ikut campur’ dalam urusan hati Evan terhadap
Elena.
***
Komentar
Posting Komentar