1000 Camelia [part 09]



Depot itu terletak tidak jauh dari perpustakaan. Cukup dijangkau dengan kurang dari lima menit perjalanan kaki. Meski tidak terlalu besar, depot itu cukup terkenal di antara anak muda, terutama anak kost karena makanannya yang enak, porsi cukup besar, dan harga yang ramah kantong.
            Awalnya, Alan tidak terlalu paham apa maksud Evan ‘ada yang bakal berubah setelah makan’. Yang berubah setelah makan, tentu saja perut kenyang, bukan? Itulah pemikiran Alan saat di perpustakaan. Tapi, kini ia mengerti apa maksud Evan.
            Gadis yang duduk di depannya itu tampak sangat menikmati makannya. Raut wajahnya juga berubah. Alan tidak tahu apakah raut wajah yang dilihatnya di perpustakaan itu asli atau hanya pura-pura. Alan menduganya itu adalah raut wajah yang asli. Kini, setelah hampir semangkuk bakso dan segelas es degan habis dilahapnya, raut wajah gadis itu berubah – mungkin mood-nya membaik setelah makan.
            “Sudah kenyang nih? Atau masih kurang?” Tanya Evan. Alan diam saja karena ia tahu jelas pertanyaan itu ditujukan pada Elena.
            “Kenyang banget, mantab.” Elena tersenyum sambil menunjukkan deretan gigi putihnyayang cantik. “Kamu gimana, Lan?”
            “Sudah nggak bisa nampung makanan lagi.” Jawab Alan sambil tersenyum.
            “Oh iya omong-omong, Sofia kok tumben nggak ikut sama kamu ke perpustakaan, Len?” Tanya Evan pada Elena, tapi tatapannya jelas diarahkan pada Alan.
            “Sofia lagi nemenin mamanya ke Bandung, Van.” Kata Elena. “Ada urusan keluarga.”
            Evan menyenggol Alan dengan sengaja. “Tuh ke Bandung.”
            “Emangnya kenapa, Van?” Tanya Elena.
            “Nggak apa-apa ya, bro?” Tanya Evan pada Alan sambil memberikan kode yang tidak dapat dipahami oleh Elena. Alan mengangguk dengan enggan. “Alan suka sama Sofia.”

***
Tiga puluh menit sudah mata Alan menatap pada satu foto yang sama pada layar laptopnya. Dalam foto itu hanya ada foto seorang gadis cantik berambut panjang. Jika dilihat lebih teliti, gadis itu cantik juga. Bola matanya berwana senada dengan warna rambutnya – hitam kecokelatan. Entah apakah warna itu memang warna aslinya atau pengaruh lensa kontak ataupun cat rambut. Tapi, di mata Alan, warna itu tampak menyatu dengan pemiliknya.
Jelas gadis itu tidak menyadari ketika Alan memotretnya. Mata gadis itu tampak memandang jauh, seolah bertanya pada Sang Pencipta mengenai masa depannya. Rambutnya yang tergerai tertiup angin dengan sempurna. Hanya dengan pakaian bak traveler dengan kamera yang tergantung pada lehernya, gadis itu sudah seperti seorang model.
Awalnya, Alan mengakui pertemuannya dengan gadis itu adalah kebetulan. Tapi, kebetulan hanya terjadi sekali, bukan? Pertemuannya dengan gadis itu sudah beberapa kali. Bahkan, tadi ia sempat melihat gadis itu dari kejauhan ketika ia sedang sibuk berbincang dengan seseorang. Dan, seperti biasa, ia selalu tersenyum penuh keramahan.
Tidak salah Evan mencintai gadis itu – Elena. Memang, Alan baru saja mengenalnya. Sejak hari pertama ia mengenal Elena, Alan sudah memiliki penilaian yang cukup bagus untuk Elena. Jelas saja Evan yang sudah mengenal Elena sejak kecil semakin jatuh hati padanya.
Tapi masalahnya, gadis itu tampaknya tidak memiliki rasa yang sama terhadap Evan. Ia memperlakukan Evan, Joan, dan dirinya dengan sama. Tatapan, senyuman, dan cara berbicaranya sama. Kasihan sekali Evan, gumam Alan.
Pasti ada cara untuk menaklukkan hati gadis itu. Pasti. Tampaknya ia juga bukan tipe gadis yang suka mempermainkan orang.

***

Barisan rak yang dipenuhi buku itu tampak sepi. Tidak banyak orang yang mengunjungi bagian itu – buku pendidikan. Hanya ada beberapa orang berkacamata tebal yang berada di area tersebut. Buku-bukunya pun juga tertata rapi, seolah tidak pernah dijamah seorang pun.
Elena sibuk memilah buku yang dicarinya. Sejam sudah ia berdiri di tempat yang sama, tanpa ada tanda-tanda akan segera menemukan buku yang ia cari. Tiba-tiba, matanya terarah pada buku yang terletak di rak yang agak tinggi. Ia melompat beberapa kali, berusaha untuk meraihnya. Sialnya, justru buku-buku lain yang jatuh, menimpa tubuh mungilnya.Sontak, beberapa pasang mata yang berada di dekatnya menjadikannya objek pengamatan.
“Aduh, sialan!” gumam Elena pelan sambil memijit kepalanya sebentar. Ia bergegas untuk mengambili buku-buku yang berserakan di lantai sambil mencari buku yang ia maksud. Sial, buku itu tidak ada.
“Mencari buku ini, Nona?” Sepasang lengan menyodorkan buku bersampul cokelat pada Elena. Elena merasa mengenali suara itu dan ternyata…
“Ya ampun, Alan!” hampir saja Elena menjerit kalau Alan tidak meletakkan telunjuknya di depan bibirnya untuk mengisyaratkan agar Elena tidak menjerit.
“Ini perpustakaan.” Kata Alan pelan, lalu membantu Elena mengembalikan buku-buku itu ke rak yang tinggi. “Kalau nggak sampai, minta tolong dong, dik.”
Elena memukul lengan Alan pelan. “Enak saja kamu ini panggil aku ‘dik’.”
“Lho, Alan, Elena?” panggil Evan dari kejauhan.
“Kebetulan banget kita ketemu di sini.” Elena tersenyum. “Mungkin kita bertiga sudah ada chemistry yang kayak di film-film itu.”
Alay ah, Len.” Goda Evan. “Aku barengan sama Evan kok ke sini. Bantuin orang pintar ini buat cari buku persiapan kuliah. Kamu habis ngapain Len kok jidatnya agak merah gitu?”
“Anak kecil ini nggak mau minta tolong ambilin buku, Lan. Padahal, ‘kan sudah kelihatan jelas kalau raknya tinggi banget, beda jauh sama tingginya. Aku aja agak jinjit buat ambil.” Kata Alan sambil memeragakan beberapa perkataannya, membuat Evan tertawa.
Elena memasang ekspresi cuek. “Jahat banget kamu, Lan.”
“Lho, aku nggak bermaksud begitu.” Kata Alan dengan nada menyesal. “Maaf deh.”
“Makan dulu aja yuk, Lan. Lihat apa yang nanti bakal berubah setelah makan.” Evan menarik tangan Alan, diikuti dengan Alan yang menarik tangan Elena.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surya dan Mentari

Zebra Cross.

Oasis