1000 Camelia [part 07]
Seperti
yang sudah dijadwalkan sebelumnya, Elena, Sofia, Evan, Joan, dan Alan akhirnya
bertemu. Seminggu setelah direncanakan tepatnya. Kali ini, sebuah restoran di mall kawasan Surabaya Barat menjadi
pilihan mereka.
Elena
duduk berdampingan dengan Sofia. Di depannya, Evan, Alan, kemudian Joan. Beberapa
menit kemudian, pesanan mereka datang. Seperti biasa, Elena sibuk membagi
piring, sendok, garpu, dan makanan. Kebiasaan ini muncul karena seringnya Elena
hang out bersama Evan dan Joan –
Elena seolah berperan menjadi ibu dari dua laki-laki ini.
“Ehm,”
Joan berdeham. “Jadi, sudah saling kenal?” Joan menunjuk Sofia dan Alan secara
bergantian. Pada waktu yang hampir bersamaan, Sofia dan Alan menggelengkan
kepalanya. “Kenalan dulu, dong. Nggak enak kalau ada yang nggak saling kenal.”
Alan
mengulurkan tangan pada Sofia. “Alan.”
Sofia
pun menjabat tangan Alan. “Sofia.”
Tangan
Alan dan Sofia saling berjabat untuk beberapa saat di hadapan Elena. Elena
tersenyum tipis, melihat sahabat dan temannya sudah saling kenal.
“Enak
banget kamu, Lan baru beberapa hari balik Surabaya temennya sudah nambah lagi.”
Joan kembali memulai percakapan.
Alan
tertawa ringan. “Makasih banget ya Jo, Van, udah bantuin aku di sini.”
“Sama-sama,
Lan.” Kata Evan. “Omong-omong, kegiatanmu apa sekarang, Lan? Masih sama?”
“Ya.
Aku masih berusaha mengenal kota ini lebih baik.” Kata Alan. “Kadang juga
mampir ke beberapa taman kota.” Alan melirik Elena.
“Nah,
dengerin tuh, Jo, Van. Kayak Alan gini dong, cinta taman kota.” Kata Elena
bagaikan seorang pahlawan penyelamat.
“Tapi
jangan terlalu sering, Lan. Nanti susah dicarinya.” Sofia menyindir Elena.
“Setuju,
Sof!” sorak Joan.
“Ah,
kamu kok nggak dukung aku sih, Sof.” Elena menyenggol Sofia pelan. “Kecewa.”
“Sudah,
ayo cepet makan. Habis makan nanti kita ngobrol sampai capek.”
***
“Kalian
lanjut dulu saja!”
Evan
melemparkan bola basket ke arah seorang temannya, kemudian ia berjalan ke tepi
lapangan, duduk di sana. Tak lama berselang, Alan menyusul Evan. Tersisalah
delapan orang lainnya yang masih asyik bermain basket.
“Sudah
capek, Van?” Alan menyodorkan botol minuman ke Evan. “Tumben banget.”
“Capek?
Nggak terlalu, Lan.” Evan menerima botol minuman itu, tapi pandangan matanya
jauh ke depan.
Alan
merasa Evan agak aneh. Tidak biasanya dia seperti ini. Evan selalu menatap mata
Alan ketika berbicara. Tapi, kali ini tidak. Alan yakin seratus bahkan seribu
persen, Evan sedang memikirkan sesuatu. Sesuatu yang sudah membebani pikirannya
beberapa hari ini. Ya, sudah beberapa hari ini Alan merasa ada yang berbeda
pada sikap Alan, meski ia agak meragukan itu.
“Van,”
panggil Alan lagi. “Ada apa?”
“Ada
apa maksudnya?” Evan menatap Alan. Akhirnya.
“Aku
ngerasa akhir-akhir ini kamu agak beda, Van. Seperti sedang memikirkan
sesuatu.” Kata Alan. “Kamu boleh cerita kalau kamu memang mau.”
Evan
menghembuskan napasnya. “Susah buat diceritakan, Lan.” Evan memerbaiki posisi
duduknya. “Ini tentang Elena.”
“Elena?
Ada apa Elena?”
“Aku
mencintainya, Lan. Akhir-akhir ini perasaan itu bertambah kuat. Sudah enam
bulan terakhir aku berusaha mendekatinya. Tapi sejauh ini aku merasa dia hanya
menganggapku sebagai sahabatnya, tidak lebih dari itu.”
“Sepertinya
pendapatmu benar. Berdasarkan pengamatanku, dia memperlakukanmu sama seperti
dia memperlakukan Joan.”
“Nah
itu masalahnya.” Hening menyelimuti selama beberapa saat di antara mereka berdua.
“Kamu mau ‘kan Lan bantuin aku?”
Alan
mengangguk sambil tersenyum, sambil menepuk pundak Evan. Memangnya ia punya
pilihan selain menyetujui permintaan Evan?
***
Komentar
Posting Komentar