On that Saturday Night [part 3]
“Bagaimana
Abigail? Nanti malam kau bisa ‘kan? Abigail Kimberly.”
“Eh, iya,
Nathan ada apa?” Aku kaget melihat tangan Nathan yang berada persis di depan
wajahku. Pasti aku melamun terlalu lama. Ia memanggilku dengan nama lengkapku.
“Abigail, kau
tidak mendengarkanku, ‘kan?” Nathan terdengar agak kesal. Salahku.
“Maafkan aku,
Nathan. Aku sedang tidak berkonsentrasi.” Aku membuka buku agendaku. “Aku
bingung mengatur jadwalku–“
“Selalu beralasan
seperti itu.” Nathan melangkah pergi keluar dari kelas.
***
Aku tidak tahu
apa yang salah denganku. Aku tidak bisa berkonsentrasi dengan apa yang
kupikirkan, kurasakan, dan kulakukan. Semuanya tidak berjalan dengan sinkron.
Otakku sibuk dengan pikirannya sendiri, entah apa yang dipikirkan. Hatiku sibuk
menilai perasaannya sendiri, entah apa yang dirasakan. Tanganku sibuk melakukan
tugas-tugas keseharianku.
Hari ini aku
memutuskan untuk mengosongkan jadwal hanya untuk berdiam diri di rumah. Mungkin
aku butuh menenangkan diriku, dan menyinkronkan kembali diriku. Kutarik
selimutku hingga menutupi seluruh tubuhku. Alunan instrumen musik lembut
mengisi kekosongan kamarku.
Kupejamkan
mataku. Berbagai rangkaian peristiwa yang terjadi beberapa hari terakhir
diputar ulang, seperti film tanpa suara. Dimulai dari hari pertama Nathan
menyapaku sekitar tiga bulan yang lalu hingga siang ini. Aku tidak tahu apa
yang terjadi padaku, seperti ada sesuatu yang salah padaku.
Aku melihat
Nathan sebagai sosok Adrian.
Aku terduduk
di atas kasurku. Menarik napas dalam, dan menghebuskannya perlahan. Ya, mungkin
lebih baik untukku tidak bertemu ataupun berbicara dengan Nathan sementara
waktu. Aku tidak ingin masa kiniku ternoda dengan masa lalu yang suram. Aku
harus benar-benar menetralkan pikiranku
Aku tidak
ingin melihat Nathan sebagai sosok Adrian.
***
Hamparan pasir putih di depan
mata dipadukan dengan alunan debur ombak serta angin menyejukkan pikiran. Sudah
lama sekali aku tidak ke pantai untuk menenangkan diri seperti ini. Hanya duduk
diam di tepi pantai sangatlah menyenangkan.
Kuambil
secarik kertas, kutulis segala sesuatu yang ingin kuungkapkan.
Dear
me,
Aku tidak tahu apakah yang kurasakan
benar atau salah. Awalnya, Nathan adalah sosok yang misterius dan pendiam.
Hingga akhirnya ia mulai mengajakku berbicara. Ia berbicara dengan hati-hati,
seolah takut akan meremukkan hatiku. Ia membuat suasana hidupku jauh lebih
ceria dan menyenangkan. Kurasakan kehangatan persahabatan terjalin di antara
kita berdua.
Semuanya berjalan dengan mulus
hingga pada suatu saat aku mulai menyadari hal lain. Semakin lama, aku semakin
jatuh dalam pesonanya. Sayangnya, ada hal lain yang jauh lebih buruk datang.
Ingatanku tentang Adrian yang pergi begitu saja.
Adrian pergi dariku begitu saja saat
hubungan kami masih hangat. Menghilang tanpa kata, menyisakan sejuta kekesalan,
kesedihan, kegalauan, dan semua kenangan terasa tiba-tiba kabur. Dengan sekuat
tenaga aku berusaha menghapuskan ingatan dan perasaanku tentang dia, dan ya,
aku berhasil melewati masa suram itu.
Kini, ada Nathan dihadapanku. Ia
seorang yang baik, terlampau baik bagi seorang yang berhati dingin sepertiku. Aku
tidak tahu apa yang salah padaku, jaringan dan saraf apa yang sudah tidak
bekerja dengan baik pada tubuhku. Aku selalu melihat sosok Nathan sebagai
Adrian.
Baru kusadari, memang mereka berdua
memiliki banyak kesamaan secara fisik maupun kepribadian. Sangat mirip.
Mungkinkah masih ada hubungan darah di antara mereka?
Terkadang aku masih berharap dapat
bertemu dengan Adrian lagi, meluruskan apa yang sudah terjadi. Di sisi lain,
hatiku menolaknya. Hatiku hanya ingin diisi oleh Nathan.
Kulipat
kertas itu, kumasukkan dalam tasku, kutinggalkan pantai itu dengan kesunyian
serta kedamaian.
***
Komentar
Posting Komentar