1000 Camelia [part 02]



Jam enam sore di akhir pekan adalah pilihan yang salah besar. Jalanan macet di mana-mana. Lebih dari satu jam, mereka baru sampai di kafe yang dimaksudkan. Padahal, sebenarnya rumah Elena tidak terlalu jauh dari kafe tersebut. Biasanya cukup ditempuh selama tiga puluh menit.
            Beruntung, Joan sudah memesan tempat. Kalau tidak, bisa-bisa malam itu mereka habiskan dengan menunggu antrian mendapatkan tempat di kafe yang cukup terkenal di Surabaya Barat itu.
            Elena duduk bersebelahan dengan Evan, Joan di depan Evan. Sambil menunggu “tamu yang dinantikan”, mereka memesan makanan terlebih dahulu. Tak lama kemudian, “tamu yang dinantikan” datang juga.
            Elena setengah kaget melihat pemuda yang datang ke arah meja mereka. Pemuda itu pemuda yang sama dengan yang ia lihat di Skatepark dan bus saat tur kemarin. Tapi kali ini, penampilannya berbeda. Kali ini ia tampil dengan kemeja rapi, celana panjang, sneakers, dan rambut yang tertata rapi. Wajahnya juga tampak lebih segar.
            “Wah, datang juga, kamu, Lan.” Kata Joan membuyarkan lamunan Elena. “Lan, kenalin, ini sahabatku, Elena dan Evan. Len, Van, kenalin, ini teman masa kecilku, Alan.”
            “Ya ampun, Lan!” Evan menjabat tangan Alan dengan semangat. “Kita ketemu lagi, akhirnya! Kamu ngilang di mana sih?”
            Alan membalas jabatan Evan dengan penuh semangat juga. “Aku nggak ngilang, Van. Kamu yang  ngilang.” Tawa riuh pecah antara Evan dan Alan.
            “Kalian kenal?” Tanya Joan kebingungan.
            “Aku dan Alan dulu sempat satu sekolah. Tapi waktu SD, hanya dua tahun.” Kata Evan. “Tapi kita berdua udah akrab banget. Kemudian, Alan ngilang tanpa kabar.”
            “Wah beda banget sama aku. Aku kenal sama Alan soalnya keluarga kita sudah saling kenal. Udah kayak keluarga besar.” Jelas Joan.
            “Ehm,” mata ketiga pemuda itu tertuju pada Elena, yang agak teracuhkan.
            “Oh ya ampun, maafkan aku, nona sibuk.” Kata Joan. “Alan, kenalkan, ini satu-satunya cewek digeng kita. Namanya Elena Talia, tapi panggilan nona sibuk terdengar lebih cocok untuknya. Nona sibuk, ini Alan.”
            Alan menjabat tangan Elena, begitu juga Elena.
            “Sepertinya kita pernah bertemu sebelumnya.” Kata Alan.
            “Skatepark dan bus?” Tanya Elena.
            “Tidak diragukan.” Kata Alan. “Senang akhirnya tahu namamu.”
            “Jadi, kalian juga sudah kenal?” Tanya Joan dan Evan pada saat yang hampir bersamaan.
            “Tidak.” Jawab Alan dan Elena pada saat yang hampir bersamaan juga, sampai keduanya kaget. “Aku dua kali bertemu secara tidak sengaja dengan Elena. Yang pertama kali di Skatepark, yang kedua di bus saat kita sama-sama ikut tur House of Sampoerna.”
            “Nggak nyangka banget sebenarnya kita berempat sudah kait-mengkait.” Kata Evan.
            Mereka melanjutkan perbincangan dari kafe ramai hingga kafe sepi. Seperti layaknya anak muda lainnya, perbincangan mereka ke mana-mana, tanpa ada topik yang jelas. Meski satu-satunya perempuan dalam meja tersebut, Elena bisa menikmati perbincangan itu.
            Diam-diam, Alan memerhatikan Elena. Tapi, tidak ada satupun dari mereka yang menyadari hal tersebut. Begitu juga Elena yang sesekali memerhatikan Alana tanpa ketahuan.
            “Sudah malam nih. Udahan, ya. Kita harus segera memulangkan nona sibuk.” Kata Joan.
            “Oke deh. Padahal masih pingin ngobrol-ngrobrol leboh banyak.” Kata Evan. “Omong-omong, kamu tinggal di mana sekarang, Lan?”
            “Sementara ngekost dulu. Deket kampus.” Kata Alan.
            “Kirimin alamatmu ya, siapa tahu kita mau kunjungan.” Kata Joan.
            “Udahan yuk.” Kata Evan. “Pulang dulu, Lan.”
            “Iya, pulang dulu, Lan.” Kata Evan.
            “Oke, bro. Pulang juga deh.” Kata Alan. “Bye, Len.”
            Bye, Lan.” Kata Elena
            “Sampai ketemu di taman kota lainnya.” Gurau Alan sebelum mereka benar-benar berpisah.

***

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Zebra Cross.

Surya dan Mentari

Oasis